Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Kamis, mengatakan program itu bagian dari transformasi hijau yang dilakukan oleh PLN untuk menekan emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh pembangkit listrik.
"Total emisi karbon yang berhasil ditekan melalui co-firing di 33 PLTU sebesar 391 ribu ton karbon dioksida," kata Darmawan.
PLN menggunakan lima biomassa untuk co-firing PLTU batu bara, yaitu serbuk gergaji, serpihan kayu, cangkang sawit, bonggol jagung, dan bahan bakar jumputan padat. Perseroan membutuhkan sebanyak 383 ribu ton biomassa untuk menopang co-firing di 33 lokasi PLTU.
Darmawan menuturkan pemanfaatan teknologi co-firing tidak hanya sekedar mengurangi emisi karbon, tetapi bisa mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam penanaman tanaman biomassa. Bahkan, ada pula yang mengelola sampah rumah tangga untuk dijadikan pelet untuk bahan baku co-firing.
"Ini merupakan bagian dari ekosistem listrik kerakyatan yang melibatkan masyarakat dalam penyediaan biomassa sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat," ujarnya.
PLN menargetkan penerapan co-firing di 52 lokasi PLTU hingga 2025 dengan total kebutuhan biomassa 10,2 juta ton per tahun. Sementara hingga akhir tahun 2022, ada 35 lokasi PLTU yang akan mengimplementasikan co-firing dengan estimasi konsumsi biomassa mencapai 450 ribu ton per tahun.
Darmawan menyampaikan teknologi co-firing juga sebagai langkah jangka pendek yang dilakukan PLN dalam mengurangi emisi karbon, sebab program co-firing tidak memerlukan investasi untuk pembangunan pembangkit baru dan hanya mengoptimalkan biaya operasional untuk pembelian biomassa.
Baca juga: PLN olah 2,1 ton sampah organik jadi bahan bakar PLTU
Baca juga: PLN NTT uji coba 100 persen biomassa untuk bahan bakar PLTU Bolok
Baca juga: Perhutani suplai serbuk kayu ke pembangkit listrik tenaga uap di Jawa
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022