Selama 14 bulan berturut-turut, PMI manufaktur Indonesia konsisten tetap di jalur ekspansif atau masih bergeliat di tengah tekanan ekonomi global
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa industri manufaktur di Indonesia masih menunjukkan geliat positif di tengah kondisi ekonomi global, yang tidak menentu akibat krisis dan resesi.
Hal itu tercermin dari laporan S&P Global yang menunjukkan capaian Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober berada di level 51,8 atau berada di atas 50,0 yang menandakan sektor manufaktur dalam tahap ekspansif.
"Selama 14 bulan berturut-turut, PMI manufaktur Indonesia konsisten tetap di jalur ekspansif atau masih bergeliat di tengah tekanan ekonomi global," kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita lewat keterangannya di Jakarta, Selasa.
PMI manufaktur Indonesia pada Oktober ini masih lebih baik dibandingkan PMI manufaktur dunia (49,8) dan beberapa negara manufaktur global seperti China (49,2), Jerman (45,7), Jepang (50,7), dan Korea Selatan (47,3).
Bahkan, di sejumlah negara ASEAN, PMI manufaktur Indonesia juga unggul daripada Vietnam (50,6), Malaysia (48,7), dan Thailand (51,6).
Menperin menegaskan pihaknya terus menjaga kepercayaan diri para pelaku industri dalam menjalankan usahanya di Tanah Air, terutama di tengah kondisi ekonomi global yang tengah mengalami perlambatan.
"PMI manufaktur di seluruh dunia turun, bahkan di negara-negara industri yang besar angkanya di bawah 50 atau tidak ekspansif," ujarnya.
Menurut Menperin, tantangan yang dihadapi sektor industri dalam negeri adalah pasar tujuan ekspor yang mengalami pelemahan ekonomi, seperti China, Amerika Serikat, dan Eropa.
Hal ini berdampak pada penyerapan beberapa produk ekspor unggulan, seperti tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, dan furnitur. Selanjutnya, industri juga dibayangi harga input tinggi yang dapat menurunkan daya saing produknya.
"Selain bahan baku yang semakin mahal, pasokannya juga masih belum lancar," kata Menperin.
Untuk menjaga optimisme sektor industri, Agus menyebutkan perlunya upaya antisipasi terhadap kondisi ekonomi global yang sedang lesu. Salah satunya melalui kemitraan antara industri skala besar dengan industri kecil dan menengah (IKM).
"Upaya ini dapat meningkatkan kemandirian rantai pasok di dalam negeri, mendukung program substitusi impor, serta menjaga agar industri masih bisa tumbuh sehat untuk berproduksi," jelas Menperin.
Terkait produk ekspor yang mulai terdampak kondisi ekonomi negara tujuan, perlu penguatan pasar dalam negeri yang mampu menyerap produk-produk tersebut, termasuk dengan cara pengoptimalan belanja pemerintah melalui program peningkatan produk dalam negeri (P3DN).
Menperin menambahkan, untuk mengurangi harga input, pemerintah juga perlu berkoordinasi dan mengambil kebijakan-kebijakan yang mendukung.
Selain itu, demi menjaga permintaan terhadap produk dalam negeri, pemerintah perlu memberikan dukungan dalam bentuk pemberian insentif maupun stimulus, seperti yang pernah dilakukan pada awal pandemi COVID-19.
"Hal ini perlu dipelajari dan dikaji agar sektor industri tidak mengalami perlambatan," tegas Agus.
Namun demikian, Menperin tetap optimistis di tengah bayang-bayang inflasi, industri manufaktur akan tetap menjadi kontributor paling besar dalam menopang kinerja perekonomian nasional.
"Berdasarkan laporan S&P Global, pertumbuhan berkelanjutan di keseluruhan aspek permintaan pada sektor manufaktur Indonesia, mendorong kenaikan produksi manufaktur pada bulan Oktober," sebut Agus.
Baca juga: Menperin: Investasi manufaktur melonjak 54 persen, capai Rp365 triliun
Baca juga: Menko Airlangga: PMI Indonesia pada September solid dan ekspansif
Baca juga: Menperin: PMI Manufaktur RI September 2022 terkuat dalam delapan bulan
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022