Ketika Elon Musk pertama kali menyatakan akan mengakuisisi Twitter beberapa bulan lalu, muncul kekhawatiran bahwa ujaran kebencian dalam media sosial platform mikroblog itu bakal merebak kembali.Dia pun berjanji membentuk "dewan moderasi konten" dan menarik bayaran untuk akun-akun terverifikasi
Ini karena Musk menginginkan tiadanya pembatasan untuk kebebasan berbicara, sekalipun itu memuat ujaran kebencian. Musk mendaku diri pembela kebebasan berbicara secara absolut.
Kebebasan berbicara secara absolut berakar dari pemikiran abad ke-17, namun baru menjadi pemikiran khusus setelah dikenalkan oleh filsuf kebebasan berbicara abad ke-20, Alexander Meiklejohn.
Meiklejohn menyatakan sebuah bangsa dianggap mandiri jika rakyatnya bisa mengekspresikan diri secara bebas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan tanpa dibatasi oleh aturan negara.
Baca juga: Elon Musk bantah pecat karyawan Twitter
Sebagai pengguna berat Twitter, Musk ingin filosofi Meiklejohn itu mengalir di Twitter. Musk yang merasa tak selamanya disanjung oleh media arus utama, membutuhkan tempat lewat mana dia bisa mengekspresikan apa pun sekehendak hatinya.
Banyak yang beranggapan Musk awalnya tidak serius mengakuisisi Twitter. Dia dianggap emosi belaka karena terusik oleh aturan internal Twitter mengenai bagaimana menyampaikan pesan di Twitter. Keadaan itu membuat Musk berpikiran 'mengapa tidak sekalian saja saya akuisisi'.
Namun setelah posisi maju mundurnya dalam akuisisi Twitter membuat harga saham perusahaan media sosial ini bergolak sehingga memancing otoritas pasar modal dan pengadilan Amerika Serikat turun tangan, akuisisi Twitter pun terwujud. Musk ingin menghindari peradilan atas maju mundurnya proses akuisisi Twitter.
Lagi pula bagi dia, harga 44 miliar dolar AS (Rp687 triliun) untuk membeli Twitter tak ada apa-apanya dibandingkan dengan total kekayaannya yang mencapai 223 miliar dolar AS (Rp3.484 triliun).
Namun begitu Musk tuntas membeli Twitter, dunia serempak jatuh khawatir, meski sebagian lainnya menyambut gembira kabar ini bahwa "si burung" (merujuk logo Twitter) telah dimiliki oleh orang yang seharusnya memilikinya.
Begitu rampung membeli Twitter pada 27 Oktober 2022, Musk langsung mencuit, "si burung telah dibebaskan".
Tak berapa lama, komisioner pasar internal Uni Eropa, Thierry Breton, membalas bahwa "di Eropa, 'si burung' harus terbang berdasarkan regulasi kami."
Ucapan Breton itu merujuk kepada undang-undang Uni Eropa bernama Digital Services Act yang di antaranya memuat ketentuan yang mengharuskan situs media sosial menghapus konten-konten ilegal seperti ujaran kebencian.
Baca juga: Elon Musk sah jadi pemilik Twitter, kripto DOGE naik 111 persen
Regulasi-regulasi semacam Digital Service Act ini sangat tidak disukai oleh Musk, seperti dia tak menyukai manajemen Twitter yang dianggap tunduk kepada tekanan eksternal dengan membuat moderasi pesan.
Musk tak menginginkan itu semua karena menurut dia, tak peduli pesan tersebut bohong atau tidak, atau benar atau tidak, semuanya harus dilayani Twitter, demi kebebasan berbicara yang menurutnya tak berbatas.
Tak mengherankan jika langkah pertama setelah mengakuisisi Twitter, Musk memecat para pembesar Twitter yang disanjung dunia sebagai pendekar-pendekar digital yang membuat Twitter tak kebablasan sehingga tak menjadi wahana untuk menyebarluaskan kebencian, disinformasi, dan hasutan.
Sambil membawa kloset yang menggambarkan upaya bersih-bersih totalnya dalam manajemen Twitter, Musk memecat Kepala Eksekutif Parag Agarwal, Chief Financial Officer Ned Segal, General Counsel Sean Edgett yang mengetuai bagian legal Twitter, dan Kepala Kebijakan Hukum dan Keamanan Vijaya Gadde.
Antara bohong dan prank
Tetapi langkahnya ini membuat dunia semakin khawatir bahwa Twitter akan terbang bebas menyebarluaskan pesan-pesan kebencian dan informasi-informasi yang melecehkan fakta serta kebenaran.
Padahal pakar-pakar komunikasi di Barat sendiri menegaskan bahwa kebebasan berbicara tidak pernah absolut.
Mereka menyatakan kebebasan berbicara tetap membutuhkan aturan dan regulasi agar orang tak menyalahgunakan kebebasan berbicara untuk menyebarkan kebencian dan perundungan yang merusak hak orang lain. Apalagi sulit sekali menjaga lalu lintas pesan dalam media sosial.
Baca juga: Elon Musk resmi beli Twitter dan PHK para petinggi
Situs-situs media sosial seperti Instagram dan Facebook saja tetap kesulitan menapis disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian, padahal mereka sudah memagari dirinya dengan aturan mengenai apa yang boleh dan tak boleh di-posting penggunanya.
Sebaliknya, Musk ingin menyerahkan proses seleksi pesan kepada masyarakat bahwa biarlah masyarakat yang menentukan benar tidaknya informasi. Untuk itu, tak perlu ada moderasi dan tak perlu tunduk kepada hukum negara.
Tetapi situasi seperti itu hanya berlaku di Amerika Serikat yang memang sangat memuja kebebasan berbicara.
Di bagian-bagian dunia lainnya, bahkan Eropa, kebebasan berbicara tetap memerlukan batas atau paling tidak tata krama.
Apalagi seperti pada jurnalisme yang mengenal "bad news is good news", dalam media sosial pun pesan-pesan kontroversial tak berdasarkan fakta, lebih disukai dan lebih disebarluaskan oleh penggunanya.
Dan itu dibenarkan oleh banyak studi ilmiah, salah satunya hasil penelitian Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 2018 yang menyimpulkan pesan negatif termasuk ujaran kebencian, 70 persen lebih sering dicuit ulang oleh pengguna Twitter dari pada pesan positif.
Ironisnya Musk sendiri termasuk orang yang getol menyampaikan kabar-kabar tidak jelas nan bohong. Tapi mungkin Musk kesulitan membedakan antara menyebarkan kebohongan dengan berlelucon atau prank.
Contohnya dia pernah mencuit akan membeli Manchester United, persis ketika klub sepak bola Liga Inggris itu tengah dalam puncak kekalutannya.
Dia mengulangi lelucon tak lucu itu sampai kini, termasuk tak lama setelah mengakuisisi Twitter, dengan mengunggah tautan hoaks mengenai Paul Pelosi.
Baca juga: Twitter kenalkan ikon baru untuk layanannya di web, iOS, dan Android
Paul adalah suami Ketua DPR Amerika Serikat, Nancy Pelosi. Rumahnya pernah dijarah seseorang yang hendak melukai Nancy yang saat itu tak berada di rumah.
Polisi memastikan peristiwa ini sebagai aksi kriminal, tetapi sebuah media berspekulasi tanpa disertai bukti bahwa Paul merekayasa peristiwa itu. Tautan berita dalam media itu dicuit ulang Elon Musk baru-baru ini ketika membalas debat digital via Twitter yang melibatkan mantan menteri luar negeri Hillary Clinton.
Moderasi itu keharusan
Padahal Musk tahu pasti kabar bohong itu menyakitkan, apalagi Musk, seperti kebanyakan orang berkuasa, sebenarnya tak tahan kritik.
Oleh karena itu, seperti Donald Trump, dia tak percaya kepada media massa arus utama yang kerap mengkritiknya. Dia sebenarnya tak suka dikritik.
Dia lalu menemukan Twitter sebagai media untuk mengungkapkan apa pun kebenaran menurut versinya, tak peduli itu disinformasi atau hoaks. Semua label negatif ini sudah melekat kepada Musk.
CEO SpaceX dan Tesla ini berusaha melepaskan label itu dan menepis anggapan akan membiarkan Twitter terjun bebas tanpa aturan.
Dia pun berjanji membentuk "dewan moderasi konten" dan menarik bayaran untuk akun-akun terverifikasi, dengan alasan tak ingin menggantungkan diri kepada pemasukan dari pengiklan.
Namun dia kadung mendapat predikat orang yang terlalu toleran kepada semua pesan, termasuk ujaran kebencian dan disinformasi. Akibatnya, pengiklan-pengiklan besar seperti General Motors pun menghentikan sementara kerja samanya dengan Twitter.
Baca juga: Twitter rilis Circle untuk komunikasi lebih privat
Pun demikian dengan sejumlah tokoh kesohor di dunia yang selain menjadi pengguna setia Twitter, tetapi juga memiliki jutaan follower. Mereka, termasuk penulis Stephen King, penyanyi Toni Braxton, dan pebasket LeBron James, ramai-ramai angkat kaki dari Twitter.
"Ujaran kebencian dalam selubung 'kebebasan berbicara' tak bisa ditolerir. Untuk itu, saya memilih tak menggunakan Twitter karena ini bukan lagi tempat yang aman untuk saya, anak-anak saya dan POC lainnya," kata Toni Braxton.
POC adalah singkatan dari Person of Color, yang merupakan sebutan lain untuk warga non kulit putih yang di Amerika Serikat termasuk kaum minoritas.
Semua perkembangan itu menunjukkan Musk mungkin salah melihat Twitter. Twitter bukan Tesla atau SpaceX di mana teknologi menjadi aset terbesar dan paling berharga.
Sedangkan dalam Twitter, aset terbesar dan paling berharga adalah penggunanya yang kebanyakan orang-orang berpengaruh yang mengendalikan narasi publik, mulai dari politisi, akademisi, jurnalis, sampai selebritis.
Dan tak seperti teknologi, mengatur manusia itu sulit, apalagi para pengguna Twitter yang rata-rata kritis yang mungkin lebih baik hengkang ketimbang berada dalam sistem pesan yang tak dimoderasi ketika sistem pesan ini sendiri penuh dengan ujaran kebencian, pesan-pesan rasis dan perundungan.
Dengan semua perkembangan ini, apa yang terjadi pada Twitter setelah dimiliki Elon Musk akan menarik untuk diikuti, terutama apakah mikroblog ini akan berubah toleran kepada ujaran kebencian atau tetap menampik ujaran kebencian.
Setia kepada kebebasan berbicara absolut mengharuskan Musk toleran kepada pesan-pesan buruk seperti ujaran kebencian. Sebaliknya, jika ingin menjaga Twitter menjadi platform untuk semua orang dan semua bangsa, maka moderasi tak bisa ditawar-tawar.
Baca juga: Twitter berencana ubah verifikasi "centang biru"
Baca juga: Elon Musk sebut Twitter akan miliki dewan moderasi konten
Baca juga: Kapan waktu yang tepat promosikan usaha lewat Twitter?
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022