Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dikenal sebagai kota kretek karena sejak zaman penjajahan Belanda sudah berdiri banyak pabrik rokok yang dikelola oleh masyarakat setempat.
Seiring perkembangan zaman, ternyata bisnis rokok sangatlah menguntungkan karena mayoritas pengusaha rokok di Kabupaten Kudus memiliki harta kekayaan yang melimpah.
Di antaranya, ada Nitisemito, yang merupakan sosok pengusaha rokok sukses di era penjajahan Belanda.
Keberhasilannya meniti usaha rokok, akhirnya memacu semangat pribumi lainnya untuk mengikuti jejaknya sehingga lahirlah banyak industri rokok dari mulai skala rumah tangga hingga skala industri.
Seiring perkembangan zaman, menyusul kesadaran tentang kesehatan yang semakin tinggi, akhirnya pemerintah membatasi produksi rokok dengan menerapkan aturan yang ketat bagi investor yang hendak mendirikan usaha tersebut, salah satunya soal luasan tempat usaha.
Pemilik pabrik rokok Agung Prasetyo mengatakan jika sebelumnya tidak ada aturan soal luas bangunan pabrik, lantas pemerintah menerapkan aturan bahwa ukuran luas pabrik rokok minimal 200 meter persegi sejak 2008.
Dengan lahirnya Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) Kudus dan yang terbaru akan hadir Sentra Industri Hasil Tembakau (SIHT) Kudus tentunya menjadi angin segar bagi pelaku usaha rokok golongan kecil, karena tidak perlu mengeluarkan biaya mahal untuk membangun pabrik dengan luas minimal 200 meter persegi.
Pengusaha rokok kecil seperti dirinya cukup membayar sewa gudang produksi di KIHT Kudus yang setiap tahunnya hanya Rp7 juta, sedangkan modal usaha untuk membangun pabrik bisa digunakan untuk pengembangan produksi rokoknya.
Dinas Tenaga Kerja Perindustrian, Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Kabupaten Kudus memang serius mengembangkan sektor usaha di bidang rokok karena menyerap tenaga kerja cukup banyak.
Apalagi, dana yang digunakan untuk membiayai proyek pembangunan SIHT maupun gedung produksi rokok juga berasal dari dana bagi hasil cukai dan hasil tembakau (DBHCHT).
Keseriusan pemerintah membantu pengusaha rokok golongan tiga dimulai sejak dibangunnya Lingkungan Industri Kecil (LIK) Industri Hasil Tembakau (IHT) Kudus yang pengoperasiannya dimulai Tahun 2010.
Bangunan LIK IHT senilai Rp22,38 miliar tersebut juga dilengkapi alat laboratorium uji tar dan nikotin yang pengadaannya menghabiskan anggaran sebesar Rp6,97 miliar yang berasal dari DBHCHT.
Kapasitas LIK IHT saat itu, hanya 11 gudang atau unit tempat usaha, sedangkan jumlah perusahaan rokok di Kudus saat itu mencapai 151 perusahaan.
Jumlah perusahaan tersebut memang menurun dibandingkan dengan jumlah perusahaan Tahun 2008 yang mencapai 209 unit.
Dari 151 perusahaan, sebanyak tiga perusahaan di antaranya Golongan I, 31 perusahaan Golongan II, dan 117 perusahaan Golongan III. Sedangkan perusahaan yang bisa menyewa gudang produksi di LIK IHT merupakan Golongan III yang merupakan kelompok kecil dengan modal usaha yang tidak besar.
Seiring perkembangan waktu, usaha di sektor rokok ternyata mengalami penurunan karena berbagai sebab. Sehingga banyak pelaku usaha rokok yang gulung tikar, termasuk adanya aturan dari pemerintah bahwa untuk mendirikan pabrik rokok minimal memiliki tempat usaha seluas 200 meter persegi.
Pabrik rokok yang mendapatkan kesempatan menyewa gudang produksi di LIK IHT yang ada di Desa Megawon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, itu ternyata banyak yang bertahan hingga sekarang, bahkan ada yang berkembang pesat.
Keinginan pengusaha rokok Golongan III bisa menyewa gudang produksi rokok di LIK IHT, akhirnya direspons Pemkab Kudus dengan menambah kapasitas gudang produksinya menjadi 14 gudang.
Untuk saat ini program kegiatan yang sudah berjalan pembangunan tiga unit usaha baru di LIK IHT yang berstatus sebagai Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) Kudus.
Sebelum muncul ide membangun SIHT, memang ada aturan baru dari Kementerian Keuangan RI melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 215/2022 yang menyebutkan bahwa saat ini yang diizinkan adalah SIHT.
Sementara pengusaha rokok golongan kecil yang mendaftar awalnya hanya 11 pengusaha, kemudian bertambah menjadi 17 pengusaha rokok. Akhirnya, Pemkab Kudus semakin bersemangat membangun SIHT setelah hasil konsultasi dengan pemerintah mendapatkan lampu hijau membangun sentra industri hasil tembakau.
Untuk tahap awal, Pemkab Kudus menyiapkan lahan seluas 1,1 hektare yang nantinya bisa dibangun sekitar 20-an gudang produksi rokok. Karena menyesuaikan kemampuan anggaran, maka proyek fisik pembangunan gudangnya dimulai 2023 dengan perencanaan awal dibangun enam unit gudang.
Tahun berikutnya direncanakan penambahan unit baru lagi, sehingga sebagian pengusaha rokok yang masuk daftar tunggu bisa tertampung.
Anggaran yang disiapkan untuk membangun tiga unit gudang produksi rokok yang baru sebesar Rp4,1 miliar.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap para penyewa, Pemkab Kudus juga merehabilitasi sarana dan prasarana pendukung, seperti musala, kantin dan ruang tunggu dengan anggaran mencapai Rp718,31 juta.
Dilengkapi mesin
Pemerintah Kabupaten Kudus benar-benar memanjakan pengusaha rokok kecil karena selain disediakan gudang produksi dengan sistem sewa, juga disediakan mesin pembuat rokok. Sehingga pengusaha rokok kecil yang selama ini hanya bisa memproduksi rokok jenis sigaret kretek (SKT), dengan keberadaannya di lingkungan KIHT mendapatkan kemudahan dalam memproduksi rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM).
Jika sebelumnya Pemkab Kudus hanya bisa menyewa mesin pembuat rokok, maka tahun ini direncanakan membeli mesin rokok, menyusul disediakannya anggaran sebesar Rp2,98 miliar.
Dengan anggaran sebesar itu, maka mesin yang akan dihadirkan berseri MK8 dari Taiwan dengan kapasitas produksi sekitar 1.500 batang rokok per menit.
Pemilik pabrik rokok di Kudus Sutrisno mengakui kehadiran mesin pembuat rokok memang disambut gembira, karena sebelumnya juga sudah mengurus izin untuk memproduksi rokok jenis SKM. Kesempatan emas tersebut tentu dimanfaatkan karena dirinya tidak mungkin berinvestasi membeli mesin pembuat rokok yang harganya cukup mahal, sedangkan pangsa pasarnya juga masih dalam perluasan.
Dengan adanya tambahan SIHT Kudus, diharapkan juga bisa menampung lebih banyak pengusaha rokok kecil sehingga kejayaan pabrik rokok, terutama Golongan III, yang sebelumnya mencapai ratusan, bisa tumbuh lagi.
Andai saja kehadiran KIHT Kudus jauh sebelum banyak pabrik rokok kecil gulung tikar, tentunya hingga kini masih banyak berdiri pabrik rokok yang mampu menyerap banyak tenaga kerja di daerah itu.
Kehadiran KIHT Kudus dan yang terbaru nanti SIHT Kudus, tentunya juga diharapkan bisa menekan kasus rokok ilegal di Kudus sebagai Kota Kretek.
Maraknya kasus rokok ilegal, salah satunya karena biaya membangun gudang produksi seluas 200 meter persegi ditaksir mencapai Rp300-an juta, belum termasuk investasi tanahnya, sehingga peluang membuat pabrik rokok legal semakin terbuka karena tersedia gudang produksi dengan harga sewa yang murah.
Pewarta: Akhmad Nazaruddin
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022