Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin dari kader Muhammadiyah karena dinilai layak menjadi pemimpin di lembaga politik.
"Dari Muhammadiyah bisa kita gali 'way of leadership'. Bung Karno ingin kain kafannya ditutup dengan bendera Muhammadiyah dan begitu memahami Islam is a progress," kata Hasto saat menjadi pembicara dalam diskusi Road to Muktamar Muhammadiyah bertema "Suksesi Kepemimpinan 2024" di Gedung Pengurus Pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa.
Baca juga: Muhammadiyah dituntut mampu membaca tanda-tanda zaman
Oleh karena itu, menyikapi Pemilu 2024 Hasto merekomendasikan kader-kader Muhammadiyah dapat disiapkan sebagai calon legislatif ataupun eksekutif melalui parpol.
Baca juga: Muhammadiyah dituntut mampu membaca tanda-tanda zaman
Oleh karena itu, menyikapi Pemilu 2024 Hasto merekomendasikan kader-kader Muhammadiyah dapat disiapkan sebagai calon legislatif ataupun eksekutif melalui parpol.
"Saatnya kita menyiapkan kader-kader Muhammadiyah dengan cara-cara Bung Karno, KH Ahmad Dahlan, KH Agus Salim, Ir. Djuanda dan lainnya dengan menggembleng diri, menjadi sosok pemimpin yang diidealkan. Sehingga muncul visi kepemimpinan yang kuat," tutur Hasto dalam siaran persnya.
Proklamator RI Soekarno memang menjadi kader Muhammadiyah sejak 1930. Bahkan ia pernah menjadi pengurus Majelis Pendidikan dan Menengah di Bengkulu.
Soekarno tertarik dengan Muhammadiyah berkat KH Ahmad Dahlan, sang pendiri. Ahmad Dahlan dikenal sebagai sosok islamis yang revolusioner, terlebih di bidang pendidikan.
Dalam kesempatan itu, Hasto mengatakan, gotong royong dalam konfigurasi politik nasional saat ini harus dibangun berdasarkan akar sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Menurut dia, jika melihat dalam kesadaran historis serta apa yang menjadi jiwa gotong royong bangsa Indonesia, maka bisa dilihat bagaimana Muhammadiyah didirikan tahun 1912, kemudian Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 1926, serta PNI di tahun 1927.
Menurut dia, jika melihat dalam kesadaran historis serta apa yang menjadi jiwa gotong royong bangsa Indonesia, maka bisa dilihat bagaimana Muhammadiyah didirikan tahun 1912, kemudian Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 1926, serta PNI di tahun 1927.
Berdasarkan survei saat ini, banyak pemilih atau pendukung Muhammadiyah preferensi politiknya ke PAN. Kemudian, NU secara kultural memiliki preferensi ke PKB, PPP, dan PDI Perjuangan, dimana PDI Perjuangan hadir sebagai rumah kebangsaan Indonesia Raya.
"Ini kan sama-sama berjuang untuk kemerdekaan bangsa kita. Kemudian PDI Perjuangan, PAN, PPP, PKB memiliki akar historis yang kuat sebagai cermin gotong royong nasional untuk mencapai kemerdekaan Indonesia," kata Hasto.
Tak hanya itu, Hasto juga menyebut Golkar yang sejatinya didirikan oleh Bung Karno sebagai kelompok fungsional, yang kemudian dibesarkan pada masa Orde Baru.
Demikian pula Gerindra yang kalau dilihat sebenarnya bagian dari akar perjuangan bangsa, karena kakek Prabowo Subianto (Ketua Umum Gerindra) adalah pejuang, juga pahlawan nasional.
"Dengan melihat konfigurasi partai partai yang memiliki rekam jejak sejarah perjuangan bangsa dan negara, kalau ini bisa membangun kekuatan gotong royong nasional maka akan menentukan stabilitas politik, ekonomi dan mengejar ketertinggalan kita dibandingkan bangsa bangsa lain," ujarnya.
Baca juga: Sekjen PDIP paparkan pemikiran geopolitik Bung Karno di Unair
Baca juga: Sekjen PDIP: Pertemuan dengan Khofifah-Eri bahas Jawa Timur
Baca juga: Sekjen PDIP paparkan pemikiran geopolitik Bung Karno di Unair
Baca juga: Sekjen PDIP: Pertemuan dengan Khofifah-Eri bahas Jawa Timur
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2022