Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2019, fraksionasi plasma adalah pemilahan derivat plasma menjadi produk plasma dengan menerapkan teknologi dalam pengolahan darah. Produk plasma yang merupakan hasil fraksionasi plasma memiliki khasiat sebagai obat.
"BPOM menyelenggarakan ini sebagai suatu forum koordinasi dan komunikasi lintas sektor untuk sinergi, dukungan percepatan, dan upaya keberlanjutan bagi terwujudnya kemandirian produksi produk derivat plasma darah dalam negeri," kata Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito saat membuka acara di Hotel Grand Mercure di Jakarta, Senin.
Pada forum tersebut, BPOM memperbarui nota kesepahaman dengan Palang Merah Indonesia (PMI) untuk terus meningkatkan dan memperluas kapasitas penyediaan dan jaminan mutu bahan baku produk darah di Indonesia.
Selain itu, forum tersebut juga memfasilitasi diskusi antara narasumber, penanggap, dan peserta yang berasal dari lintas sektor untuk merumuskan usulan strategis dan rekomendasi konkret untuk mempercepat terwujudnya industri fraksionasi plasma di Indonesia.
Seiring dengan kebutuhan produk derivat plasma darah yang semakin meningkat, Penny mengatakan percepatan pengembangan fasilitas produksi fraksionasi plasma dalam negeri memang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Pada tahun 2020, kata dia, kebutuhan plasma dunia mencapai 21 triliun dolar AS atau sekitar Rp330 ribu triliun. Di Indonesia sendiri, kebutuhan plasma mencapai Rp1,1 triliun.
Namun saat ini, lanjut dia, seluruh produk dari bahan plasma yang digunakan di Indonesia masih berasal dari produk impor dengan nilai pembelian yang tinggi.
Padahal jika berkaca dari pandemi COVID-19, menurut Penny, penguatan ketahanan kesehatan nasional secara berkelanjutan yang ditopang kemandirian dalam riset, produksi, akses, dan ketersediaan bahan baku obat dan produk biologi sangat dibutuhkan.
"Selama pandemi kita menyadari bagaimana ketergantungan kita, banyak sekali produk impor, vaksin impor, dan saat ada kelangkaan kita tidak bisa apa-apa kalau 100 persen bergantung dengan produksi dari luar," katanya.
Penny mengatakan, salah satu tantangan dalam upaya mewujudkan kemandirian produk darah adalah belum adanya industri farmasi dalam negeri yang siap untuk mengolah plasma menjadi produk derivat plasma, baik dari sisi bisnis maupun teknologi.
Selain itu, ia melanjutkan, fasilitas produksi fraksionasi plasma membutuhkan investasi yang sangat besar dan jika dibandingkan dengan produk farmasi lainnya, tidak memberikan keuntungan karena bahan baku produk darah pada prinsipnya tidak diperjualbelikan.
"Untuk itu kemandirian produk darah dalam negeri dapat dibangun dengan kebijakan yang mendukung sinergi pemerintah, PMI, rumah sakit, industri farmasi, dan masyarakat." ujar Penny.
Baca juga: Pemkot Jakpus berkomitmen jaga ketersediaan darah di PMI
Baca juga: BPOM umumkan 168 produk obat sirop yang dinyatakan aman
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022