Kawasan yang masuk ke dalam jajaran World Heritage City UNESCO itu memiliki banyak atraksi unik dari berbagai sisi, tak terkecuali dari segi sejarah.
Salah satu sejarah yang tak bisa lepas dari Kota Lama Semarang ialah bangunan-bangunan dengan sentuhan arsitektur klasik hingga jejak-jejak awal industri kereta api di Indonesia.
Wisata dengan berjalan kaki pun menjadi salah satu opsi yang menyenangkan untuk dilakukan di kawasan ini.
Jika anda tertarik berwisata sembari menyelami sejarah Kota Lama Semarang maka anda bisa memulainya dari kedai atau kafe bernama Tekodeko yang berada di Jalan Letjen Suprapto 44.
Baca juga: Semarang kembangkan kawasan wisata sejarah
Secara harafiah kafe ini memiliki dekorasi unik berupa teko sebagai daya pikatnya.
Tekodeko menjadi rekomendasi pertama karena bangunan itu masih memiliki sisa-sisa peninggalan permukiman masyarakat Belanda dari era kolonial.
Salah satu peninggalan asli yang masih dapat dilihat di Tekodeko masa kini yaitu ubin marmer berwarna putih.
Selain bisa melihat langsung ubin yang mungkin sudah berusia ratusan tahun, anda bisa menikmati sentuhan interior dengan nuansa vintage.
Dari Tekodeko, anda bisa menuju ke arah Jalan Cendrawasih sedikit keluar dari Kawasan Kota Lama Semarang untuk menuju Museum Kota Lama.
Baca juga: "Rest Area" 360 Tol Semarang-Batang jadi destinasi wisata baru
Museum Kota Lama sebelumnya dikenal warga lokal sebagai lokasi Air Mancur Bundaran Bubakan. Meski baru diresmikan pada Februari 2022 oleh Pemerintah Kota Semarang, namun nilai sejarah di dalam Museum tersebut sangat tinggi.
Tanpa perlu membayar, saat berkunjung ke museum ini anda bisa menyelami perjalanan Kota Lama Semarang sejak awal didirikan hingga saat ini.
Pengunjung juga bisa melihat langsung kondisi jalur trem sisa-sisa peninggalan Belanda.
Bagi anda yang tertarik lebih jauh melihat bukti sejarah perkeretaapian, anda bisa sedikit berjalan ke tempat pengisian bahan bakar di seberang Museum Kota Lama.
Anda akan melihat sebuah tiang yang tersisa yang semula digunakan untuk alat komunikasi telegram dalam pengoperasian kereta api di masa lampau.
Jejak sejarah dari masa awal industri kereta api dan trem di Semarang juga bisa dilihat dari sisa puing "Sentral Jurnatan".
Baca juga: Puluhan tempat hiburan dan wisata di Semarang ajukan izin buka kembali
Lokasinya bisa ditempuh dengan berjalan kaki menuju Jalan Agus Salim yang tak jauh dari Museum Kota Lama.
"Sentral Jurnatan" di masa lampau merupakan stasiun kereta api pusat yang dioperasikan oleh maskapai kereta api bernama Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS).
Ada banyak rute yang dilayani menggunakan trem uap dari stasiun tersebut ketika masih aktif seperti menuju arah Demak, Kudus, Pati, Rembang, serta Blora.
Namun kini karena area tersebut sudah menjadi kompleks pertokoan, dan puing itu terletak di salah satu gerai penjualan dan servis motor sport.
Setelah disuguhi berbagai destinasi yang menunjukkan sisa-sisa industri kereta api, perjalanan bisa dilanjutkan kembali menuju ke Kota Lama Semarang.
Berjalanlah menuju ke arah Jalan Suari dan Jalan Kepodang, maka anda akan disuguhi bangunan-bangunan tua serta beberapa puing di kanan kiri anda ketika menyusuri daerah itu.
Baca juga: PT KAI buka kembali objek wisata Lawang Sewu di Semarang
Di momen ini bisa dibilang anda tengah menikmati pesona sesungguhnya dari Kota Lama Semarang.
Terutama bagi anda yang menyukai foto "instagramable", ini saat yang tepat untuk mengabadikan momen di Kota Lama.
Masih belum cukup memenuhi keinginan berfoto? Jangan kuatir tak jauh dari jalanan itu ada destinasi bernama Rumah Akar.
Anda bisa melihat puing-puing bangunan yang terakhir digunakan di 1967 itu, kini menyatu dengan akar pohon.
Baca juga: Objek-objek wisata di Kota Semarang kembali dibuka
Bangunan tua yang dibiarkan apa adanya memberikan sentuhan estetik, unik, dan membuatnya menjadi menarik serta dijamin sangat instagramable.
Rumah Akar secara lebih spesifik kini terletak di Jalan Roda II, namun di masa kolonial Belanda disebut Zwalustraat.
Lokasi ini menjadi populer sejak beberapa kali tampil di layar lebar.
Sebut saja film "Ayat-Ayat Cinta" hingga "Gee", yang pernah menjadikan tempat itu sebagai lokasi syuting dan pengambilan gamar.
Untuk menutup perjalanan lebih berkesan, anda bisa mendatangi Gereja Blenduk yang terletak di bagian inti Kawasan Kota Lama Semarang.
Gereja Blenduk atau dikenal juga dengan sebutan GPIB Imannuel Semarang merupakan gedung paling ikonik di kawasan itu.
Kental mengadopsi gaya arsitektur art deco ala Eropa, wisatawan bisa memanjakan matanya dengan suguhan visual dan juga mengabadikan momen di tempat ibadah itu.
Wisatawan juga bisa menikmati berbagai aktivitas yang berlangsung di dekat Gereja Blenduk tepatnya di Taman Sri Gunting.
Komunitas dari para pegiat budaya hingga seniman memanfaatkan ruang publik itu dengan maksimal.
Baca juga: Menggali jejak sejarah Lawang Sewu
Ada yang membuka kelas seperti kelas membatik atau pun menghadirkan pertunjukan seni tari di tempat itu.
Membuat wisatawan semakin lebih dekat dengan kearifan budaya lokal dan mendapatkan pengalaman baru.
Secara durasi, perjalanan wisata dengan berjalan kaki menggunakan rute ini setidaknya bisa memakan waktu kurang lebih 40 menit hingga 1 jam.
Namun jika ingin menghemat waktu, anda juga bisa menyewa sepeda, yang sebagian sudah bertenaga listrik, kepada penyedia jasa sewa di sekitar kawasan Kota Lama Semarang.
Ada baiknya perjalanan tersebut dilakukan di pagi atau sore hari, tentunya untuk menghindari sinar matahari yang menyengat.
Namun jika anda ingin mendalami interaksi dengan komunitas pegiat budaya dan seni, maka sore hari menjadi waktu yang paling tepat untuk mengitari kawasan Little Netherland itu.
Secara umum berwisata di Kota Lama Semarang tergolong hemat dan tidak memakan banyak biaya.
Akan tetap anda harus menyiapkan dana lebih apabila ingin melakukan wisata kuliner mengingat di kawasan Kota Lama Semarang juga cukup banyak sajian kuliner lokal yang siap dinikmati.
Baca juga: Tujuh tempat wisata untuk kenang sejarah Indonesia
Baca juga: Desa wisata jadi tujuan libur Lebaran di Semarang
Baca juga: Menggali jejak sejarah Lawang Sewu
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022