Nama baru itu akan digunakan "secara bersamaan selama satu tahun" dan nama lama secara bertahap akan dihapus, kata WHO dalam sebuah pernyataan.
Masa transisi untuk adopsi nama baru itu bertujuan untuk mengurangi kekhawatiran yang disampaikan oleh para ahli tentang kebingungan yang disebabkan oleh perubahan nama di tengah wabah global yang sedang berlangsung, katanya.
"Ketika wabah cacar monyet meluas awal tahun ini, bahasa bernuansa rasis dan menstigmatisasi terpantau menyebar di dunia maya, di lingkungan lain dan di beberapa komunitas," kata organisasi yang berbasis di Jenewa itu.
Menurut WHO, penyakit cacar monyet dinamai pada 1970 ketika kasus infeksi pertama pada manusia terkonfirmasi.
Virus penyebab penyakit itu pertama kali ditemukan pada monyet penangkaran di Denmark pada 1958.
Badan kesehatan PBB itu mengusulkan nama "mpox" mengikuti pedoman yang dirilis pada 2015 untuk "meminimalkan efek negatif yang tidak perlu pada negara, ekonomi, dan masyarakat" saat menamai penyakit menular baru pada manusia.
Pedoman tersebut merekomendasikan untuk menghindari nama yang mengacu pada hewan, lokasi geografis dan kelompok etnis, seperti "flu babi" dan "Sindrom Pernafasan Timur Tengah".
Nama penyakit harus terdiri dari istilah deskriptif generik berdasarkan gejala yang ditimbulkannya, kata WHO.
Mpox mulai menyebar di luar Afrika tengah dan barat, yang menjadi tempat endemiknya, pada Mei.
Hingga Sabtu (26/11), sebanyak 81.107 kasus mpox dan 55 kematian akibat penyakit itu di 110 negara dan wilayah telah dilaporkan ke WHO pada tahun ini, terutama pada pria yang berhubungan seks dengan pria.
Meskipun masih belum pasti penyebab utamanya, hewan pengerat tampaknya menjadi pembawa alami virus tersebut, kata WHO.
Sumber: Kyodo-OANA
Baca juga: Argentina umumkan kematian pertama akibat cacar monyet
Baca juga: Dokter: Pemeriksaan lab diperlukan untuk pastikan diagnosis monkeypox
Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2022