• Beranda
  • Berita
  • Kominfo gelar sosialisasi RUU KUHP untuk masyarakat dan akademisi Bali

Kominfo gelar sosialisasi RUU KUHP untuk masyarakat dan akademisi Bali

2 Desember 2022 19:22 WIB
Kominfo gelar sosialisasi RUU KUHP untuk masyarakat dan akademisi Bali
Kemenkominfo melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik (Ditjen) IKP menggelar kegiatan “Sosialisasi RUU KUHP” di berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia. (ANTARA/Kemenkominfo)
Denpasar (ANTARA) - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) kembali melanjutkan sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada seluruh elemen masyarakat. Kemenkominfo melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik (Ditjen) IKP menggelar kegiatan “Sosialisasi RUU KUHP” di berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia. Salah satunya, bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar untuk meningkatkan pemahaman guna memperoleh dukungan publik yang lebih luas.

Direktur Informasi Komunikasi Polhukam Kemenkominfo, Bambang Gunawan, dalam sambutannya menjelaskan bahwa perwujudan negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum. Salah satu proses yang sedang dilakukan oleh Pemerintah terkait hukum pidana adalah dengan merevisi RUU KUHP.

“Upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu segera dilakukan, sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat,” jelasnya.

Pemerintah mulai merancang RKUHP sejak tahun 1964 untuk menggantikan KUHP yang berlaku sampai saat ini. Penyusunan RUU KUHP juga melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog publik dan sosialisasi. Lewat dialog publik yang telah berjalan di 11 titik di Indonesia, pemerintah menghimpun masukan dan melakukan penyesuaian sehingga menghasilkan draf terbaru RUU KUHP. Pada tanggal 9 November 2022, draf tersebut telah diserahkan ke Komisi III DPR RI, dan 24 November kemarin telah disepakati bersama dalam pembahasan Tingkat I.

“Yang dilakukan pemerintah sudah sangat transparan dan demokratis melibatkan masyarakat. Jadi tidak ada maksud-maksud pemerintah untuk tidak melibatkan masyarakat ataupun terburu-buru disahkan,” tegasnya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Universitas Pendidikan Nasional, A. A. A. Ngurah Tini Rusmini Gorda, mengatakan bahwa RUU KUHP merupakan produk hukum yang diinisiasi oleh anak bangsa. Menurutnya, RUU KUHP yang telah disusun selama 76 tahun ini sudah diidam-idamkan kehadirannya.

Untuk itu, ia berharap kegiatan Sosialisasi RUU KUHP ini bisa menjadi wadah diskusi. Walaupun menurutnya, di tahap sosialisasi ini belum bisa seratus persen mengubah, paling tidak ada hal yang bisa diakomodir melalui kegiatan ini.

“Saya harap kegiatan hari ini bisa mengakomodir di tanggal 15 nanti, agar di tahun 2023 kita sudah memiliki KUHP produk Indonesia,” ujarnya.
Mengawali sesi sosialisasi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Arief Amrullah, mengatakan bahwa pentingnya penggantian KUHP ini karena secara politis, dengan kita masih menggunakan KUHP yang ada sekarang, artinya kita masih dalam konteks terjajah oleh Belanda.

“Secara sosiologis juga berbeda muatan masyarakatnya antara Belanda dengan kita, berbeda sekali, ukurannya saja sudah beda. Lalu secara kontekstual juga begitu, KUHP Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita. Inilah salah satu keunggulan dari RUU KUHP yang mengadopsi nilai-nilai bangsanya sendiri,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono, mengatakan satu hal yang harus dipahami terlebih dahulu bahwa di dalam hukum intinya ada norma dan value. Norma terbentuk karena ada ide dasar value yang mendasari.

“Bagaimana dengan eksistensi KUHP kita? Sebagaimana kita ketahui bersama, KUHP merupakan produk peninggalan kolonial, yang tentunya dari basic idenya tentu berbeda dengan basic ide yang dihayati, digunakan di dalam konteks kehidupan bermasyarakat di Indonesia,” jelasnya.

Menurutnya, jika ide dasar KUHP ditelaah lebih dalam, maka KUHP peninggalan kolonial Belanda didasarkan pada nilai-nilai individual liberalism, sedangkan masyarakat Indonesia lebih banyak didasari oleh aspek-aspek monodualisme, atau bagaimana menempatkan individu di dalam konteks kemasyarakatan.

Pujiyono mengatakan bahwa ketika membaca RUU KUHP kita, ada dua asas legalitas, yaitu asas legalitas formil dan asas legalitas materiil. Karena menurutnya sangat tidak memadai ketika perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana hanya apa yang disebut di dalam Undang-Undang.

“Realitasnya, yang disebut sebagai tindak pidana di tengah masyarakat masih sangat banyak, yang kemudian hidup berkembang di masyarakat adat yang disebut dengan the living law. Maka munculnya asas legalitas formil dan materiil, tidak lepas dari asas keseimbangan yang dianut di dalam RUU KUHP,” jelasnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa apabila RUU KUHP disahkan, maka Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki tindak pidana mati bersyarat, melalui Pasal 100 pada konsep RKUHP, yaitu pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.

“Kalau kita cermati, sebetulnya ada dua hal yang bisa ditelaah di dalam pidana mati bersyarat. Yang pertama, dia membantah bahwa pidana mati adalah pidana yang bersifat non-evaluatif. Yang kedua, melihat perkembangan psikologis sosial pelaku, apakah faktor-faktor kriminogen sudah hilang atau masih ada. Ini adalah sangat berprikemanusiaan sekali,” ungkapnya.

Berkaitan dengan UU ITE, Ia mengatakan bahwa ada dua pasal yang menjadi persoalan di dalam pemidanaan yaitu Pasal 27 dan 28 yang telah dicabut dan kemudian direformulasi ke dalam RUU KUHP, tujuannya agar tidak terjadi disparitas di dalam pemidanaan.

“Di dalam UU ITE itu ancamannya lima tahun ke atas, sehingga polisi dengan mudah melakukan penangkapan penahanan terhadap pelaku pelanggaran itu. Maka kemudian diintegrasikan, direformulasi ke dalam RKUHP, yang notabene ancamannya lebih ringan,” tegasnya.

Saat ini beredar banyak hoaks tentang RKUHP yang menyatakan bahwa kritik bisa dipidana, padahal yang diatur di dalam RKUHP adalah penghinaan bukan kritik. Pujiyono mengungkapkan bahwa di dalam pasal penghinaan RKUHP, ada batasan pendefinisian oleh apa yang disebut dengan penghinaan. Menurutnya, jika berbicara mengenai penghinaan, harus ada dua esensi yaitu fitnah dan penistaan.

“Apa itu fitnah dan penistaan? Itu yang kemudian diberikan penjelasan. Sehingga tidak kemudian akan bersifat pasal karet seperti penghinaan, dan akan menumbuhkan iklim demokrasi yang semakin baik,” jelasnya.

Sosialisasi RUU KUHP yang berlangsung secara hybrid ini telah diikuti oleh sekitar 300 peserta daring dan luring. Harapannya, sosialisasi ini dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya penyesuaian KUHP melalui draf RUU KUHP baru, agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat saat ini.

Selain itu, masyarakat diharapkan bisa lebih teliti dalam membaca draf RUU KUHP dan mengikuti perkembangan terbaru dari RUU KUHP sehingga terhindar dari berita-berita hoaks yang beredar. Salah satunya, masyarakat dapat terlibat aktif mengakses RUU KUHP lewat tautan https://s.id/drafruukuhp.


Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2022