Kelahiran KUHP di tangan anak bangsa sendiri

7 Desember 2022 10:39 WIB
Kelahiran KUHP di tangan anak bangsa sendiri
Ilustrasi RUU KUHP. ANTARA/ilustrator/Kliwon

... perdebatan janganlah sampai berlarut-larut hingga produk hukum peninggalan Hindia Belanda itu terlalu lama bercokol di Tanah Air.

Rapat Paripurna DPR RI pada hari Selasa, 6 Desember 2022, merupakan momen bersejarah bagi Indonesia karena melalui forum terhormat ini, baik Pemerintah dan DPR RI, menyetujui pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang.

Perdebatan sejumlah pasal pun mewarnai pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Bahkan, aksi tolak pengesahan rancangan undang-undang ini berlangsung di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (6/12), saat rapat paripurna.

Perbedaan sudut pandang di antara sejumlah pihak ketika menafsirkan pasal-pasal dalam RUU KUHP sempat menimbulkan kontroversi. Ini merupakan dinamika masyarakat sekaligus bentuk kepedulian atas kelahiran produk hukum dalam negeri itu.

Kendati demikian, perdebatan janganlah sampai berlarut-larut hingga produk hukum peninggalan Hindia Belanda itu terlalu lama bercokol di Tanah Air.

Sejak presiden pertama RI Soekarno meneken UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah KUHP, kemudian diundangkan pada tanggal 29 September 1958, sampai sekarang masih berlaku, kecuali sejumlah pasal yang telah dianulir Mahkamah Konstitusi (MK).

Misalnya, Putusan MK Nomor 1/PUU-XI/2013. Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi menghapus frasa "sesuatu perbuatan lain maupun perbuatan tidak menyenangkan" dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selanjutnya, Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 menghapus pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP. Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis (pasal yang ditambahkan), dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dan menyatakan ketiga pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 134 menyebutkan penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun, atau pidana denda paling banyak Rp4.500,00.

Disebutkan dalam Pasal 136 bis bahwa pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam Pasal 135, jika itu dilakukan di luar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum maupun tidak di muka umum, baik lisan atau tulisan, namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.

Pasal 137 KUHP ayat (1) menyebutkan bahwa barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500,00.

Sejumlah pihak pun mempersoalkan Bagian Kedua dalam RUU KUHP tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Seolah "menghidupkan" kembali pasal-pasal yang telah dianulir MK.

Dalam RUU KUHP Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta). Dijelaskan pula dalam ayat (2) bahwa tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal kontroversial Bagian Kedua RUU KUHP lainnya, yakni Pasal 219 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Dalam Pasal 220 dijelaskan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Bahkan, pengaduan ini dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam RUU KUHP juga disebutkan bahwa pembentukan undang-undang ini juga memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pengujian KUHP, antara lain, mengenai tindak pidana penghinaan presiden, tindak pidana mengenai penodaan agama, dan tindak pidana kesusilaan.

Kendati demikian, masih muncul pertanyaan apakah pasal-pasal dalam RUU KUHP terkait dengan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan reinkarnasi dari Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP?

Jika sejumlah pihak yang tidak berkenan akan keberadaan pasal-pasal tersebut, sebaiknya mengajukan permohonan uji materi ke MK setelah undang-undang produk anak bangsa ini masuk Lembaran Negara Republik Indonesia atau sudah diundangkan. Hakim Konstitusi yang kelak memutuskan apakah pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak.

Apabila UU KUHP baru sudah diundangkan, ketentuan Pasal 256 perlu dicermati oleh mereka yang akan berunjuk rasa. Masalahnya, dalam pasal ini ada ketentuan bahwa setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II (Rp10 juta).

Sementara itu, sanksi dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 berupa pembubaran aksi. Bahkan, barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun (vide Pasal 18 ayat 1).

Secara tidak langsung ketentuan dalam KUHP baru ini mengajak anak bangsa untuk berpikir sebelum bertindak agar jangan sampai penyampaian pendapat di muka umum atau "tarian tangan" di media sosial berujung menginap di hotel prodeo.




 

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022