Ketentuan "politik identitas" dalam KUHP baru

7 Desember 2022 15:51 WIB
Ketentuan "politik identitas" dalam KUHP baru
Ilustrasi Pemilu 2024. ANTARA/ilustrator/Kliwon
Narasi yang berkembang di tengah masyarakat, meski masa kampanye pemilu mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, antara lain, "cegah politik identitas pada Pemilu 2024".

Definisi politik identitas yang mengemuka baru sebatas kebenaran subjektif atau kebenaran relatif sehingga peraturan perundang-undangan terkait dengan aturan kepemiluan perlu memberi batasan yang jelas dan tegas.

Dengan adanya batasan yang termaktub dalam regulasi kepemiluan, bisa menjadi acuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI dalam menyusun aturan main pesta demokrasi di 38 provinsi, terkait dengan pengawasan penyelenggaraan Pemilu 2024.

Bila publik ingin tahu apa itu politik identitas versi Wikipedia, tinggal klik tautan id.wikipedia.org/wiki/Politik_identitas. Definisi politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama, atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut.

Namun, dalam situs lipi.go.id/publikasi/politik-identitas, yang dimaksud politik identitas secara sederhana bisa dimaknai sebagai strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori utamanya.

Batasan politik identitas ini penting, terlebih dalam aturan kepemiluan belum ada makna dari frasa tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), tidak ada penjelasan yang detail mengenai pengertian politik identitas.

Kendati secara eksplisit tidak ada dalam UU Pemilu, Pasal 280 ayat (1) memuat ketentuan larangan bagi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Selain itu, ada larangan menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.

Sementara itu, dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang disetujui menjadi undang-undang oleh DPR RI bersama Pemerintah melalui Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (6/12), memuat ketentuan tindak pidana atas dasar diskriminasi ras dan etnis.

Meski tidak secara gamblang mendefinisikan politik identitas, dalam Pasal 244 RUU KUHP menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III (Rp50 juta).

Dalam Penjelasan atas RUU KUHP Pasal 244 menjelaskan apa yang dimaksud dengan pembedaan, misalnya, pimpinan suatu perusahaan yang melakukan pembedaan terhadap gaji atau upah pegawainya berdasarkan pada suku tertentu.

Dijelaskan pula yang dimaksud dengan pengecualian, misalnya, pengecualian seseorang dari ras atau etnis tertentu untuk menjadi pegawai atau karyawan tertentu.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan pembatasan, misalnya, pembatasan seseorang dari ras atau etnis tertentu untuk memasuki lembaga pendidikan atau untuk menduduki suatu jabatan publik hanya seseorang dari ras atau etnis tertentu.

Terkait dengan sublema pemilihan, misalnya, pemilihan untuk jabatan tertentu berdasarkan pada ras atau etnis tertentu.

Dengan adanya definisi politik identitas dalam aturan main kepemiluan, setidaknya menjadi pedoman ketika Bawaslu RI dan jajarannya menjalankan tugas, wewenang, dan kewajibannya selaku penyelenggara pemilu, sebagaimana amanat Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 UU Pemilu.

Bawaslu RI bertugas, antara lain, menyusun standar tata laksana pengawasan penyelenggaraan pemilu untuk pengawas pemilu di setiap tingkatan. Selain itu, melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu. Selengkapnya tugas Bawaslu vide Pasal 93 UU Pemilu.

Dalam melakukan pencegahan pelanggaran pemilu dan pencegahan sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas: mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran pemilu; mengoordinasikan, menyupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan pemilu; berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu. (Vide Pasal 94 UU Pemilu)

Dalam melakukan penindakan pelanggaran pemilu, Bawaslu bertugas: menerima, memeriksa, dan mengkaji dugaan pelanggaran pemilu; menginvestigasi dugaan pelanggaran pemilu; menentukan dugaan pelanggaran administrasi pemilu, dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara dan/atau dugaan tindak pidana pemilu; dan memutus pelanggaran administrasi pemilu.

Dalam melakukan penindakan sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas: menerima permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu; memverifikasi secara formal dan materiel permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu; melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa; melakukan proses adjudikasi sengketa proses pemilu; dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.

Adapun kewenangan Bawaslu, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 95 UU Pemilu, yakni: menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilu.

Selanjutnya, memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran, administrasi pemilu; memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang; menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.

Kewenangan lainnya, merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan terhadap netralitas aparatur sipil negara (ASN), netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan netralitas anggota Polri.

Bawaslu RI juga berwenang mengambil alih sementara tugas, wewenang, dan kewajiban bawaslu provinsi dan bawaslu kabupaten/kota secara berjenjang jika bawaslu provinsi dan bawaslu kabupaten/kota berhalangan sementara akibat dikenai sanksi atau akibat lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di samping itu, berwenang pula meminta bahan keterangan yang dibutuhkan kepada pihak terkait dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dugaan tindak pidana pemilu, dan sengketa proses pemilu.

Lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pemilu tingkat pusat ini juga berwenang mengoreksi putusan dan rekomendasi bawaslu provinsi dan bawaslu kabupaten/kota apabila terdapat hal yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bawaslu RI berwenang membentuk bawaslu provinsi, bawaslu kabupaten/kota, dan panitia pengawas pemilu luar negeri (panwaslu LN); mengangkat, membina, dan memberhentikan anggota bawaslu provinsi, anggota bawaslu kabupaten/kota, dan anggota panwaslu LN; dan melaksanakan wewenang lain, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sesuai dengan amanat UU Pemilu, Pasal 96 huruf a, disebutkan bahwa Bawaslu berkewajiban bersikap adil dalam menjalankan tugas dan wewenang. Di sinilah pentingnya batasan politik identitas agar ada kesamaan persepsi sekaligus mencegah syak wasangka di tengah masyarakat.

Kemungkinan ada pula yang beranggapan politik identitas itu jika ada peserta pemilu saat berkampanye mengenakan baju yang menjadi ciri khas agama atau suku tertentu di Tanah Air. Kalau hal ini dibiarkan, penyelenggara pemilu ini bisa dianggap oleh mereka tidak bersikap adil.

Oleh karena itu, penting ada kesamaan dalam memaknai politik identitas yang terwadahi dalam peraturan perundang-undangan kepemiluan agar tolok ukurnya jelas dan tidak multitafsir.

 

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022