Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan Indonesia akan mulai menerapkan dua pilar proposal pajak OECD/G20 sebagai solusi untuk mengatasi tantangan perpajakan yang timbul karena digitalisasi.
“Pada semester I 2023 pilar pertama akan ditandatangani oleh konvensi muktilateral. Kita juga sudah siap dengan aturan untuk mengimplementasi pilar 1 dan 2 dalam proses ke depannya,” dalam International Tax Conference yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Pada 2023 ia mengatakan aturan inklusi pendapatan (Income Inclusion Rule/IIR) dan Subject to tax rule (STTR) juga akan mulai diimplementasikan.
Adapun The OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (IF) telah menyepakati dua pilar solusi untuk mengatasi tantangan yang muncul dari digitalisasi ekonomi.
Pilar 1 merupakan usulan solusi daru OECD/G20 untuk menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital.
Sementara itu, pilar kedua berisi usulan solusi sebagai upaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan minimum yang efektif secara global.
Menurutnya saat ini Indonesia sudah menjadi pionir dalam pemungutan pajak digital, terutama untuk pajak bagi aktivitas perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech) dan aset kripto, sehingga transparansi pajak akan terus diperkuat ke depan.
“Ada peningkatan signifikan dari administrasi perpajakan dan pengelolaan fintech dan aset kripto sejak pajaknya dipungut karena aturan yang diterbitkan pada April 2022,” ucapnya.
Adapun pemerintah mencatat penerimaan pajak dari transaksi ekonomi yang berkaitan dengan aset kripto telah mencapai Rp191,11 miliar hingga Oktober 2022, sementara pajak dari fintech peer to peer lending mencapai Rp148,6 miliar.
Baca juga: Kemenkeu: Pungutan PPN PMSE mencapai Rp9,17 triliun hingga 31 Oktober
Baca juga: DJP: Administrasi pajak berbasis digital terimplementasi penuh 2024
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022