"Sebagai bentuk empati dan simpati kepada korban GGAPA, pemerintah dan industri farmasi dipandang penting untuk memberikan santunan dan kompensasi serta ganti rugi bagi korban," kata Ketua BPKN RI Rizal E. Halim saat konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Adapun korban yang dimaksud, lanjut Rizal, meliputi korban yang masih dirawat di rumah sakit, korban yang masih melakukan rawat jalan, dan keluarga korban meninggal dunia.
Wakil Ketua BPKN-RI sekaligus Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) Mufti Mubarok menambahkan bahwa pihaknya berharap korban GGAPA mendapatkan perlakuan yang serupa seperti korban tragedi Kanjuruhan.
"Kanjuruhan itu ada santunan rata-rata Rp60 juta kurang lebih, tapi itu terserah pemerintah, apakah di atas atau di bawah itu, itu kewenangan pemerintah. Batas waktu ya sesegera mungkin, bila perlu besok kalau memungkinkan," ujar Mufti.
Baca juga: BPKN bentuk tim pencari fakta kasus gangguan ginjal akut
Baca juga: BPKN: Audit izin edar obat seiring adanya kasus gangguan ginjal akut
Sementara menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, adanya santunan bagi korban merupakan hal penting sebab GGAPA merupakan keracunan massal yang dilakukan oleh industri farmasi kepada konsumen.
Apalagi, kata dia, sebanyak 74 persen dari 324 korban adalah balita yang hampir semuanya berasal dari kalangan menengah ke bawah.
"Sampai detik ini, belum memberikan kompensasi kepada konsumen sebagai korban. Padahal dia adalah pemakai produk, pemakai obat-obatan yang terbukti mengandung cemaran yang tidak direkomendasikan dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)," kata Tulus.
Ia melanjutkan, pihaknya menagih janji Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang mengatakan akan berkoordinasi dengan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy agar pemerintah bisa memberikan kompensasi kepada korban GGAPA, bukan hanya menggratiskan pengobatan.
Menurut Tulus, mengenai nominal, hanya korban yang tahu berapa hitungan kerugiannya.
Namun agar lebih terstandarisasi, ia mengatakan pemerintah dapat membentuk tim khusus untuk menghitung kerugian yang dialami korban.
"Tapi ingat, nyawa tidak boleh dihargai dengan apapun. Tapi kalau dikonversi dalam hitungan perdata, korban yang secara matematis tahu. Tapi agar menjadi lebih terstandarisasi, kalau di luar negeri maka idealnya dibentuk semacam komite atau tim khusus penghitung ganti rugi,” kata Tulus.
“Oleh karena itu sangat mungkin kita meminta pemerintah segera bentuk komite atau tim penghitung ganti rugi terhadap korban, secara materil dan immateril," ujarnya.
Baca juga: TPF BPKN minta pemerintah penuhi hak keluarga korban gagal ginjal akut
Baca juga: Komisi VI DPR apresiasi BPKN buka posko aduan korban gagal ginjal
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022