Setidaknya ada tiga hal dalam UU P2SK yang memberikan alat-alat baru untuk keberlangsungan industri BPRS, yaitu keleluasaan transaksi BPRS, hak BPRS untuk mendapatkan dana dari publik, dan penempatan modal di lembaga pendukung BPRS.
“Ketiga alat-alat baru BPRS tersebut perlu diperkuat dalam aturan turunannya, yaitu Peraturan Bank Indonesia (BI) dalam hal aktivitas transfer dana dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk ketiga alat-alat baru tersebut. Ini tentu akan memberi akselerasi baru bagi pertumbuhan BPRS ke depan,” kata Martadinata dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya BPRS tidak diperkenankan bekerja sama dengan perusahaan switching dan perusahaan pelaksana jasa pembayaran lainnya untuk memfasilitasi aktivitas transfer dana. BPRS hanya boleh bekerja sama dengan bank umum, Bank Umum Syariah (BUS), atau Unit Usaha Syariah (UUS).
Martadinata mengungkapkan dalam UU P2SK, lalu-lintas pembayaran dalam dunia keuangan oleh BPRS menjadi lebih longgar. Penjabaran pada pasal operasional BPRS ditambahkan agar BPRS dapat melakukan aktivitas transfer dana.
Pada ketentuan ini sudah tidak ada monopoli BUS atau UUS sebagai mediatornya. BPRS dapat memilih perusahaan jasa pembayaran lainnya yang membantu aktifitas transfer dana tersebut.
Sementara itu, hak BPRS untuk mendapat modal dari publik dengan mekanisme pasar modal dalam UU P2SK telah sejalan dengan tuntutan salah satu BPRS dalam uji materi UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kendati tidak dikabulkan MK, akhirnya tuntutan ini dikabulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam UU P2SK.
Selain itu, lanjut dia, dalam UU P2SK, BPRS juga diperbolehkan menempatkan modal di lembaga pendukung BPRS. Hal ini dalam penjelasan UU dinyatakan bahwa penempatan modal oleh BPRS diperbolehkan di lembaga yang mengatasi likuiditas dan lembaga yang mendorong pengembangan teknologi serta lembaga sertifikasi.
“Kemampuan BPRS mengelola dana masyarakat terkecil sekalipun dapat dilakukan sebagaimana jaringan BPRS yang telah menyebar ke pelosok Nusantara. Kemampuan BPRS yang tetap tumbuh dan bertahan dalam melewati berbagai masa krisis, mulai dari krisis 1998, 2002, 2008, dan pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa industri ini cukup kuat," ucap dia.
Menurutnya, UU P2SK akan memberi pintu akses modal bagi BPRS yang asetnya sudah hampir Rp20 triliun. Satu persatu BPRS yang tumbang dapat diselamatkan dengan suntikan modal yang kuat dari publik.
Kemampuan BPRS untuk berkembang di dunia digital juga terakomodir dalam UU P2SK, dimana BPRS dapat menempatkan modal pada lembaga penunjang yang mengembangkan teknologi bagi pertumbuhan BPRS sendiri.
Ke depan, Martadinata menilai kondisi BPRS akan terus tumbuh dari 167 BPRS yang ada di seluruh pelosok Nusantara. Keleluasaan transaksi akan membuat BPRS mampu mengoptimalkan transaksi keuangan di seluruh penjuru Indonesia.
"Ini menjadi peluang bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan instrumen transaksi keuangan dan investasi. Literasi keuangan pun akan berkembang sampai pelosok negeri," ungkap Martadinata.
Baca juga: Sri Mulyani: UU P2SK atur tugas OJK awasi perbankan hingga kripto
Baca juga: Sri Mulyani sebut UU P2SK ubah nama BPR
Baca juga: Sri Mulyani: UU P2SK tak ganggu independensi BI, OJK dan LPS
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022