Meskipun menuai pro dan kontra khususnya soal pasal-pasal yang dinilai mengekang demokrasi, hak asasi manusia dan lain sebagainya, harus diakui KUHP baru merupakan karya anak bangsa yang juga layak mendapat kesan positif. Paling tidak, dilihat dari sisi upaya kerja keras selama ratusan tahun melepaskan diri dari bayang-bayang warisan kolonial.
Untuk diketahui, KUHP yang saat ini digunakan oleh aparat penegak hukum termasuk hakim dalam mengadili terdakwa, awalnya berasal dari Code Penal Perancis (1810) atau KUHP Prancis. Pada 1886 Code Penal Perancis ditransformasi menjadi Wetboek Van Strafrecht imbas dari penjajahan yang digencarkan Napoleon Bonaparte ke "negara kincir angin".
Kemudian, KUHP Belanda tersebut masuk ke Indonesia tahun 1915 dan mulai berlaku tiga tahun berikutnya yakni 1918. Tepat 1 Januari 2023 mendatang KUHP yang digunakan di ruang-ruang sidang tersebut sudah berusia 105 tahun atau lebih tua dari usia bangsa Indonesia.
Selama 105 tahun tersebut ahli hukum pidana tidak berdiam diri. Tahun 1963 para ahli hukum mengadakan seminar hukum nasional dengan tujuan merevisi KUHP warisan kolonial. KUHP yang baru saja disahkan tersebut telah melalui pembahasan tujuh presiden, 14 menteri serta dirancang oleh para guru besar hukum pidana. Bahkan, beberapa di antaranya telah berpulang ke pangkuan ilahi.
Terkait proses pembahasan, konsep Buku I dan Buku II yang digagas para guru besar hukum pidana masing-masing tahun 1968 dan tahun 1979 baru dibahas dalam sebuah loka karya pada Desember 1982. Kala itu, Departemen Kehakiman yang saat ini dikenal dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) membentuk tim perumus RUU KUHP.
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Prof Hakristuti Hakrisnowo mengatakan pembahasan RUU KUHP dilakukan secara intensif sejak 2015 hingga 2019. Sedari 2019 hingga 2022 pemerintah telah menyosialisasikan dan melakukan pembahasan RUU KUHP.
Sosialisasi dan pembahasan juga telah melibatkan atau memperoleh masukan publik, ahli bahasa, hingga melibatkan proofreader. Pada prosesnya, perdebatan tidak hanya datang dari masukan-masukan publik, namun juga dari dalam atau sesama tim perumus.
Bahkan, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Prof Edward Omar Sharif Hiariej harus berhadapan langsung dengan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar melalui acara debat beberapa waktu lalu.
Dalam perdebatan tersebut Zainal Arifin Mochtar atau yang kerap disapa Uceng menyarankan agar pembahasan RUU KUHP tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Sebab, hal terpenting yang mesti diperhatikan ialah proses pembahasan RUU KUHP bukan aspek konklusi.
Dengan segala pergulatan pemikiran tersebut tim perumus pada akhirnya mencoba mengakomodasi seluruh pemikiran, masukan, dan kritik hingga akhirnya melahirkan KUHP Nasional yang baru hasil buah pemikiran anak bangsa.
Pembaruan KUHP
KUHP Nasional mengusung sejumlah hal-hal baru dengan misi awalnya yakni upaya dekolonisasi. Situasi terkini dinilai banyak yang sudah tak relevan jika dikaitkan dengan konteks penerapan hukum pidana nasional.
Atas dasar itu, KUHP melahirkan hal-hal baru di antaranya tidak ada lagi kategori kejahatan dan pelanggaran, mengakui keberadaan hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law), namun asas legalitas tetap dipertahankan.
Berikutnya, KUHP yang baru mengatur soal tidak lagi memuat unsur dengan sengaja. Sebab, setiap tindak pidana dianggap dilakukan dengan sengaja kecuali ditentukan bahwa adanya kelalaian. Hal baru berikutnya yaitu tentang perumusan tujuan pidana dan pedoman penjatuhan pidana.
KUHP baru juga mengatur atau membagi tiga kategori pidana dan tindak pidana. Pertama bagi anak-anak, kedua kategori dewasa dan terakhir kategori korporasi. Perumusan KUHP juga menerapkan double track system. Artinya, saat seseorang divonis bersalah maka ia tidak hanya dijatuhi pidana namun juga bisa disertai tindakan.
Tidak hanya itu, KUHP Nasional yang baru dinilai mempunyai muatan keseimbangan. Hal itu membedakannya dari KUHP yang lama. Materi hukum pidana nasional mengatur keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, atau yang disebut dengan keseimbangan monodualistik.
"Artinya, selain memerhatikan segi objektif dari perbuatan, hukum pidana juga memperhatikan segi subjektif dari pelaku," kata akademisi sekaligus Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Arief Amrullah.
Berpangkal dari keseimbangan monodualistik tersebut KUHP Nasional tetap mempertahankan asas yang paling fundamental dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas dan asas kesalahan. Asas legalitas ditujukan pada perbuatan dan asas kesalahan ditujukan bagi orang atau pelaku. Masing-masing dari dua asas itu disebut dengan asas kemasyarakatan dan asas kemanusiaan.
Muatan keseimbangan lainnya yakni terkait perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana. Dalam KUHP lama tidak ada mengatur tentang korban karena hanya pelaku.
Kemudian, dalam KUHP lama ancaman hukuman tinggi terhadap pelaku seolah-olah memberikan perlindungan terhadap korban. Padahal, perlindungan tersebut belum secara nyata.
Terakhir, KUHP baru memuat keseimbangan antara nilai nasional dan nilai universal. Perkembangan nilai universal tidak bisa dilepaskan sehingga instrumen-instrumen internasional juga harus beradaptasi.
KUHP Nasional yang baru memuat keseimbangan antara HAM dan kewajiban HAM. Artinya, tidak hanya sekadar menuntut hak tapi juga mengatur kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu termasuk salah satu aspek yang membedakannya dengan KUHP lama.
Sosialisasi KUHP
Setelah resmi menjadi undang-undang, KUHP tidak serta merta langsung berlaku efektif. KUHP yang disebut-sebut sebagai maha karya anak bangsa tersebut baru dikatakan berlaku tiga tahun setelah resmi diundangkan. Selama kurun waktu itu, pemerintah terutama Kemenkumham akan mengisinya dengan agenda sosialisasi kepada masyarakat luas.
Kementerian yang dikomandoi Yasonna Hamonangan Laoly tersebut memahami KUHP Nasional tidak bisa mengakomodir semua masukan, dorongan atau kepentingan yang diutarakan publik sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Mengutip pepatah Minangkabau "basilang kayu dalam tungku mangko api ka hiduik" (bersilang kayu dalam tungku makanya api akan hidup). Agaknya pepatah tersebut cukup relevan dengan kondisi KUHP Nasional yang mendorong lahirnya banyak perdebatan.
Makna yang dapat dipetik dari pepatah tersebut yakni setiap kebijakan yang dibuat hendaknya haruslah mengedepankan musyawarah dan mufakat. Pemerintah sendiri berpandangan telah melakukan hal demikian meskipun mungkin saja ada pendapat yang mengatakan pelibatan masyarakat sipil, dan akademisi belum menyentuh kata demokrasi yang seutuhnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan masyarakat yang tidak sependapat dengan KUHP Nasional bisa menggunakan hak konstitusinya dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia menyakini mekanisme uji materi jauh lebih baik jika dibandingkan harus turun ke jalan sembari membentangkan poster penolakan diiringi lantunan penolakan melalui pengeras suara. Cara demikian tentu saja tidak salah. Sebab, dalam kaca mata demokrasi penyampaian aspirasi (unjuk rasa) adalah sesuatu yang "halal".
Sembilan hakim MK menjadi peluang terakhir bagi pihak-pihak yang tidak sependapat, sepemikiran atau satu gagasan dengan KUHP.
Di satu sisi, Yasonna meyakinkan bahwa pasal-pasal yang dinilai kontroversi telah melalui kajian mendalam serta pembahasan secara transparan, teliti dan partisipatif. Pemerintah bersama DPR berusaha mengakomodasi berbagai masukan serta gagasan dari publik.
"RUU KUHP tidak mungkin disetujui 100 persen. Kalau masih ada yang tidak setuju, dipersilakan melayangkan gugatan ke MK,"
kata Yasonna Laoly.
Kesimpulannya, liku-liku perjalanan RUU KUHP hingga akhirnya menjadi undang-undang hendaknya memberikan manfaat dan kebaikan bagi masyarakat terutama dalam penegakan hukum di Tanah Air.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022