Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa penguatan sinergi dan kolaborasi bersama berbagai mitra dapat mendorong terjadinya revolusi pola makan pada anak di tahun 2023.
“Kerja sama itu harus diperkuat di tahun 2023. Kalau menurut saya harus ada revolusi pola makan,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Hasto menuturkan bahwa penguatan kerja sama tersebut dapat mendorong peningkatan kualitas komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) masyarakat terhadap pemberian asupan gizi pada anak dan pencegahan stunting.
Baca juga: Anak tidak suka sayur? Begini cara mengatasinya
Baca juga: Pemberian makan anak berkaitan dengan pola pengasuhan orang tua
Ia mencontohkan revolusi makan yang baik juga pernah terjadi di Jepang, dimana keterlibatan mitra secara optimal mendorong semua warganya untuk mengkonsumsi ikan guna memenuhi asupan gizi DHA dan Omega3. Di Indonesia, hal tersebut juga dapat dilakukan melalui pangan lokal yang tumbuh di wilayah masing-masing.
Keterlibatan para mitra sangat besar, karena dapat mendorong keluarga untuk tidak berfokus pada sejumlah bahan pangan tertentu seperti beras atau daging untuk mengelola menu sehat bagi anak. Tetapi, bisa diganti dengan makanan lain misalnya daun kelor, jagung atau singkong.
Dengan bertambah luasnya pengetahuan masyarakat dalam mengolah pangan lokal, keluarga tidak akan khawatir atau terkecoh pada komoditas pangan yang mengalami inflasi harga, karena sudah menyadari bahwa Indonesia kaya akan diversifikasi pangan.
“Sekarang ini yang menjadi populer adalah harga cabai, tahu dan kol. Makanan di luar itu seolah olah tidak dilirik, sehingga kalau harga cabai, tomat naik kenapa tidak cari alternatif, misalnya kelor yang ditanam di mana-mana dan bisa tumbuh, jadi itu yang saya maksudkan revolusi,” katanya.
Menurut Hasto, revolusi pola makan juga akan menghindarkan anak terkena stunting dan membuat keluarga tidak terdikte oleh kartel-kartel. Apalagi Presiden RI Joko Widodo juga sudah mendorong masyarakat untuk tidak banyak membeli bahan impor.
Makanan Pendamping ASI (MPASI) bagi anak, juga harus direvolusikan. Hasto menilai, banyak ibu terpaku untuk memberikan susu formula ketimbang ASI eksklusif. MPASI yang diberikan pada anak pun, lebih menggunakan makanan pabrikan dibandingkan membuatnya sendiri dengan alasan sulit, tidak tahan lama ataupun tidak memiliki cukup banyak waktu.
Baca juga: BKKBN khawatirkan anak terkena diabetes akibat pola makan tak sehat
Baca juga: Pola makan yang sehat untuk anak pra-remaja
Padahal, dengan menggunakan pangan lokal, dapat sedikit mengurangi beban pengeluaran keluarga, juga memperkaya jenis makanan yang dikonsumsi keluarga.
“Namanya MPASI itu sudah jelas, tapi ini justru aslinya diganti susu formula, beli bubur yang sudah ada tulisannya 7 atau 9 bulan. Uangnya jadi lari semua ke pabrikan. Kenapa kita tidak memberdayakan produk lokal saja?,” katanya.
BKKBN bersama Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dan Tim Pendamping Keluarga (TPK) saat ini terus menggaungkan manfaat pangan lokal, untuk diolah menjadi menu sehat. Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat) juga membantu mendemonstrasikan menu-menu sehat tersebut.
“Ini saja pemberian ASI eksklusif masih belum maksimal. Saya kira banyak hal yang harus kita buatkan resolusi melalui suatu revolusi,” katanya.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023