"Sistem proporsional tertutup pada masa lalu telah menghasilkan oligarki dalam partai. Hal itu membuat tertutupnya kompetisi antara sesama kader dan melahirkan para politisi yang lebih mengakar ke atas daripada ke bawah," kata Yanuar di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan bagi partai politik yang mempunyai tradisi komando kuat dan sedikit otoriter, maka sistem proporsional tertutup lebih disukai. Bahkan, bagi kader partai politik yang berjiwa oportunis, elitis, dan tidak mampu berkomunikasi dengan publik, maka sistem proporsional tertutup adalah peluang terbesar bagi karir pribadi.
"Masa sistem pemilu seperti itu masih mau dipertahankan? Justru karena kita semua memahami bahwa ada salah arah, maka akhirnya sistem proporsional terbuka dijadikan kesepakatan bersama sejak Pemilu 2009," ujarnya.
Yanuar mengingatkan bahwa sistem proporsional tertutup digunakan sepanjang pemilu pada era Orde Baru yang terjadi adalah rakyat tidak kenal calon yang akan mewakilinya.
Menurut dia, dalam sistem tersebut, para pemilih seperti "membeli kucing dalam karung", kedaulatan pemilih hilang karena kedaulatan partai, dan kegairahan politik hanya milik segelintir pengurus partai.
"Pada saat itu jangan harap muncul partisipasi politik rakyat dalam skala masif, yang ada adalah mobilisasi untuk arak-arakan di jalan raya. Hubungan rakyat dengan pemilih sangat jauh karena anggota legislatif sebagai 'jembatan' tidak ada yang bisa mereka kenal dekat," katanya.
Baca juga: Delapan fraksi DPR nyatakan sikap pemilu proporsional terbuka
Baca juga: Anggota DPR: Proporsional terbuka bentuk kemajuan demokrasi
Yanuar mengakui memang ada kekurangan dalam sistem proporsional terbuka seperti menguatnya pragmatisme caleg dan pemilih, biaya mahal, politik uang marak, dan muncul tokoh-tokoh baru nonkader partai.
Selain itu, menurut dia, muncul kerumitan dalam pemungutan dan penghitungan suara, kompetisi yang tidak sehat bahkan diantara sesama caleg partai hingga terabaikan kualitas caleg yang terpilih.
"Namun semua itu harus dipahami sebagai proses belajar demokrasi yang sedang berjalan. Pada akhirnya semua pihak akan menemukan titik keseimbangan yang alami untuk bersama-sama mengerem laju pertumbuhan negatif dari demokrasi," ujarnya.
Menurut dia, sistem proporsional terbuka telah memberi peluang kepada semua warga negara, apa pun latar belakangnya untuk berkarir dalam politik.
Dia menilai hak asasi atas karir pribadi tersebut harus dijamin partai politik dan tidak boleh dirampas atas nama kaderisasi.
"Apabila ada kader yang kurang loyal kepada partai, itu urusan internal untuk memperbaikinya sehingga jangan sistem pemilu yang dijadikan sasaran kesalahan," katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023