• Beranda
  • Berita
  • Amel, wanita pertama di dunia bergelar doktor konservasi bekantan

Amel, wanita pertama di dunia bergelar doktor konservasi bekantan

18 Januari 2023 19:00 WIB
Amel, wanita pertama di dunia bergelar doktor konservasi bekantan
Amalia Rezeki bersama Wakil Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Pascasarjana ULM Prof. Agung Nugroho (kiri) dan Koordinator Program Studi Doktor Prof. Akhmad R. Saidy (kanan). ANTARA/Firman
Perjuangan Amalia Rezeki lebih dari 10 tahun dalam penyelamatan bekantan, primata endemik Kalimantan, kembali menorehkan tinta emas.

Amel, sapaan akrab pendiri Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), baru saja meraih gelar doktor di bidang konservasi bekantan di Universitas Lambung Mangkurat (ULM).

Amel mengikuti ujian akhir studi S3 Pascasarjana ULM dan dinyatakan lulus dengan sangat memuaskan dengan disertasi berjudul “Strategi Pengelolaan Habitat Bekantan di Luar Kawasan Konservasi dalam Upaya Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). (Studi Kasus Pengelolaan Habitat Bekantan di Kawasan Stasiun Riset Bekantan Pulau Curiak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan).

Adapun promotornya Prof. Gusti Muhammad Hatta, Prof. Yudi Firmanul Arifin, dan Dr. Rizmi Yunita.

Bertindak selaku penguji adalah Dr. Bambang Joko Priatmadi, Muhammad Syahdan, Dr. Abdi Fithria dari ULM, serta penguji tamu Prof. Hadi Sukadi Alikodra, guru besar konservasi dan peneliti senior bekantan dari Institut Pertanian Bogor.

Usai dinyatakan lulus, Amel dinobatkan sebagai wanita pertama di dunia bergelar doktor konservasi bekantan.

"Alhamdulillah, gelar doktor ini saya persembahkan untuk semua orang yang peduli terhadap pelestarian bekantan dan habitatnya," katanya.

Sejak 2016, dosen Pendidikan Biologi FKIP ULM ini mendedikasikan hidupnya untuk upaya penyelamatan bekantan yang berstatus terancam punah Endangered oleh organisasi perlindungan lingkungan terbesar di dunia yaitu International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan termasuk satwa dilindungi Pemerintah RI.

Berawal ketika menemukan Pulau Curiak yang dihuni sekitar 14 individu bekantan hingga Amel tertarik untuk melakukan penelitian di pulau kecil yang waktu itu hanya seluas 2,7 hektare.

Penelitian pertamanya tentang struktur populasi bekantan yang dia lakukan bersama tim riset SBI.

Amel sadar bahwa bekantan dan habitatnya yang berada dekat dengan area pemukiman, pertanian pasang surut, kawasan industri, serta jalur sungai Barito dan sangat padat itu, kondisinya sangat mengancam keberadaan maskot fauna Kalimantan Selatan tersebut.

Untuk itulah bersama tim SBI dia memutuskan menyelamatkan bekantan dan habitatnya di kawasan Pulau Curiak yang terdesak oleh pembangunan melalui sejumlah langkah konkret.

Langkah pertama dia bergerak untuk menyelamatkan kawasan yang tersisa dengan cara membeli kembali lahan di sekitar pulau tersebut untuk dilakukan restorasi dengan ditanami pohon mangrove rambai yang merupakan vegetasi bakau utama dan pakan utama bekantan.

Meski begitu, program yang dilakukan tidak mudah karena membutuhkan dana besar, sedangkan ia sendiri hanya seorang dosen muda, serta teman-temannya satu tim kebanyakan masih mahasiswa waktu itu.

Akan tetapi dengan niat yang tulus dan bekerja karena hati, Amel dan timnya membuat program wakaf lahan yang diberinya nama "Buy Back Land" untuk membeli kembali lahan yang telah beralih fungsi.

Melalui para dermawan yang dengan ikhlas membelikan lahan dan kemudian mewakafkan ke SBI, akhirnya sejengkal demi sejengkal dapat dibebaskan.
 
Amalia Rezeki bersama para mentor dan penguji saat ujian akhir Studi S-3 Pascasarjana ULM. ANTARA/Firman



Restorasi mangrove rambai

Lahan itu kemudian dijadikan kawasan penyangga habitat bekantan. Di lahan tersebut juga dibangun Stasiun Riset Bekantan untuk menunjang penelitiannya lebih lanjut.

Untuk menambah daya dukung kawasan habitat bekantan Pulau Curiak, dilakukan restorasi mangrove rambai yang kini luas pulau bertambah menjadi 4,01 hektare dari awalnya hanya 2,7 hektare.

Perjuangan Amel di bidang studi untuk meraih doktor bekantan tak kalah hebatnya dengan perjuangannya dalam menyelamatkan bekantan di kawasan Pulau Curiak yang hutan mangrovenya nyaris lenyap.

Saat itu hanya tersisa 2 hektare lebih dan dihuni bekantan tidak lebih dari 14 individu waktu itu.

Dia berpacu dengan waktu demi berjuang menyelamatkan satwa yang telanjur mengisi hatinya.

Kondisi itu sempat membuatnya terdiam, terutama ketika harus menerima kenyataan mengambil cuti 1 semester kuliah karena tidak mampu membayar biaya studi dan penelitian.

Sebagai anak tunggal dan yatim, ditinggal sang ayah yang merupakan tulang punggung ekonomi satu-satunya, tentu perjuangan ini tidak mudah.

Baginya, penelitian tentang strategi pengelolaan habitat bekantan di luar kawasan konservasi bukan saja karya tulis ilmiah untuk meraih studi doktoralnya.

Lebih dari itu menjadi simbol perjuangan menyelamatkan bekantan itu sendiri beserta habitatnya.

Amel berharap hasil penelitiannya ini menjadi role model dalam mengelola sebuah kawasan, terutama di luar kawasan konservasi, yang mana satwa liar bisa hidup harmonis dengan manusia sehingga upaya konservasi dapat dicapai.

Baginya, air mata boleh habis tapi sebuah perjuangan pantang berhenti di tengah jalan. Sekali layar terkembang, surut ia berpantang.

Menurut Amel, melestarikan bekantan dan studi itu bagian dari ibadah. Dengan segala keterbatasan ia terus bergerak, walau terkadang direndahkan.

Ia berkeyakinan setiap usaha tidak akan pernah sia-sia jika bersungguh-sungguh serta berprasangka baik terhadap Allah.
 
Amalia Rezeki bersama tim SBI. ANTARA/Firman


Tak akan berhenti

Pada ujian akhir program doktoralnya, Amel banyak mendapatkan ucapan selamat dari beberapa tokoh nasional maupun mancanegara seperti dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya Bakar.

"Selamat dan Sukses ya. All the best. Saya senang kabar ini. Sukses selalu ya untuk Amel atas gelar doktornya," ucap Menteri LHK dalam karangan bunga yang terpajang di depan Pascasarjana ULM di Banjarmasin.

Begitu juga dari Prof. Tim Roberts, guru besar dari University of New Castle (UON) Australia.

Dalam tulisan berbahasa Inggris yang dikirimkannya ke ponsel Amel, Roberts menuliskan kalimat yang jika diterjemahkan mengandung arti "Saya menantikan hari ketika saya dapat menjabat tangan Anda dan saya ingin mengucapkan selamat Dr. Amalia, Anda adalah peneliti yang luar biasa dan Anda telah melakukan hal-hal hebat untuk konservasi".

Roberts merupakan sosok penting bagi Amel sebagai pembimbing penelitiannya.

Bahkan Roberts yang memelopori kerja sama riset bekantan antara Australia dengan Indonesia lewat pengiriman mahasiswa University of New Castle setiap tahunnya untuk magang dan penelitian di Pulau Curiak.

Nama sang profesor pun diabadikan di Stasiun Riset Bekantan di Pulau Curiak dengan nama Camp Research Tim Roberts, sebuah pusat studi dan penelitian bekantan dan ekosistem lahan basah hasil kolaborasi SBI dan Universitas Lambung Mangkurat sebagai perguruan tinggi negeri dengan visi menjadi universitas terkemuka dan berdaya saing pada bidang pengelolaan lahan basah.

Ucapan selamat untuk Amel juga disampaikan John McAuley dari Sydney, Australia, lewat Facebook pribadinya.

Pemerhati konservasi keanekaragaman hayati ini berujar, “Saya mengucapkan selamat kepada Anda, Doktor. Saya telah mengikuti pencapaian Anda untuk waktu yang lama dan tidak lain adalah kekaguman murni atas upaya tak kenal lelah Anda dan bekerja dalam konservasi. Saya yakin Anda akan mencapai lebih banyak lagi dalam hidup. Suatu hari seluruh dunia akan menyadari bahwa kami berutang besar padamu. Harapan terbaik untuk masa depan Anda".

Amel menegaskan bahwa perjuangannya bersama tim SBI tak akan berhenti setelah meraih gelar doktor.

Begitu juga ketika dirinya menerima penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Lingkungan dan Kehutanan berupa Kalpataru 2022 dengan kategori Penyelamat Lingkungan.

Keberadaan bekantan, jenis monyet berhidung panjang dengan rambut berwarna cokelat kemerahan, harus terus dijaga dan dilestarikan.

Ini dilakukan demi menyelamatkan peradaban di Bumi Pertiwi Indonesia yang kaya akan flora dan fauna agar hidup harmonis berdampingan dengan manusia.



Editor: Achmad Zaenal M

 

Pewarta: Firman
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023