Komisaris Utama Indonesia Financial Group (IFG) sekaligus ekonom senior Fauzi Ichsan mengatakan asuransi global belajar dari mekanisme bridge bank atau bank perantara yang dilakukan Indonesia untuk menyelesaikan kasus gagal bayar di Industri Keuangan Non Bank (IKNB).Resolusi dengan opsi bridge bank yang pernah dilakukan IFG dalam menangani perusahaan asuransi yang gagal menjadi salah satu contoh terbaik
Bridge bank merupakan metode penanganan atau penyelesaian permasalahan solvabilitas bank oleh LPS dengan cara mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank asal kepada bank perantara.
"Resolusi dengan opsi bridge bank yang pernah dilakukan IFG dalam menangani perusahaan asuransi yang gagal menjadi salah satu contoh terbaik," ujar Fauzi dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Instrumen penyelamatan lembaga keuangan yang sudah gagal sebenarnya lengkap tersedia di industri perbankan. Pascakrisis moneter di era 1997-1998 yang ditandai dengan sejumlah bank yang dinyatakan bangkrut dan terjadi penarikan uang secara massal (rush money), sistem keuangan Indonesia mulai berbenah dengan hadirnya Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
LPS dilengkapi dengan sejumlah instrumen resolusi bank gagal, di antaranya mekanisme likuidasi, penyertaan modal sementara (PMS), opsi purchase and assumption, serta opsi pengalihan sementara melalui bridge bank.
Industri asuransi, lanjut Fauzi, tidak pernah mengalami krisis serupa. Pemegang polis juga tidak bisa berbondong-bondong menarik uangnya karena memang secara kontrak tidak bisa dilakukan, sehingga menyebabkan banyak perusahaan asuransi yang secara permodalan minim, tetapi masih bisa diperbolehkan beroperasi.
Di sisi lain, industri asuransi pun tidak memiliki institusi serupa LPS yang menjadi garda akhir untuk solusi perusahaan asuransi yang gagal. Dengan tidak adanya otoritas resolusi di industri asuransi serta opsi penyelamatan yang bisa menangani kasus perusahaan asuransi yang gagal, mau tidak mau, IKNB harus berkaca pada industri perbankan.
Penanganan perusahaan asuransi yang gagal dengan mekanisme bridge bank membelah perusahaan asuransi menjadi dua bagian. Meminjam istilah industri perbankan, bagian pertama adalah bank asal yang gagal dan dijuluki bad bank nantinya akan dilikuidasi, serta kedua adalah good bank, yang dibentuk baru untuk menerima aset yang sehat dan kewajiban dengan status hukum yang paling tinggi dari bank asal.
Berbeda dengan resolusi bridge bank di perbankan dimana simpanan nasabah bank asal yang gagal tidak direstrukturisasi, kata dia, polis dan kewajiban dari perusahaan asuransi yang gagal direstrukturisasi terlebih dahulu sebelum dialihkan ke good bank. Opsi ini mengurangi beban penyuntikan modal segar kepada good bank.
Melalui pengalihan aset dan kewajiban yang sehat tersebut, opsi-opsi penyehatan lainnya dapat terbuka, termasuk penyertaan modal negara (PMN), mengundang investor strategis, bahkan penerbitan saham perdana (Initial Public Offering/IPO).
Dengan opsi resolusi bridge bank, biaya penyelamatan bank atau perusahaan asuransi yang gagal menjadi lebih murah, termasuk biaya yang harus diemban negara. Selain itu, resolusi ini menjamin keberlanjutan nilai tambah bagi pemegang polis dan bisnisnya.
Mantan Kepala Eksekutif LPS ini menyampaikan pengalaman IFG dalam menerapkan resolusi bridge bank untuk industri asuransi adalah metode resolusi yang baru di dunia keuangan global.
"Belum pernah ada perusahaan asuransi gagal yang diselamatkan melalui metode bridge bank, sebuah langkah resolusi yang terbilang kompleks, monumental, dan revolusioner dalam sejarah industri nonbank dunia, bukan hanya di Indonesia,” kata dia.
Baca juga: AAJI berkomitmen himpun investasi jangka panjang dukung pemerintah
Baca juga: Survei Manulife sebut 83 persen masyarakat Indonesia butuh asuransi
Baca juga: AAUI: Restrukturisasi kredit turunkan rasio klaim asuransi kredit
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023