Hasil penelitian dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan fluktuasi harga pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prevalensi angka stunting di Indonesia.Fluktuasi harga pangan mempengaruhi konsumsi pangan sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, menjaga keterjangkauan pangan sangat penting
"Fluktuasi harga pangan mempengaruhi konsumsi pangan sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, menjaga keterjangkauan pangan sangat penting," kata Kepala Penelitian Bidang Pertanian CIPS Aditya Alta dalam diskusi media secara daring di Jakarta, Rabu.
Penelitian terbaru CIPS yang berjudul "Policy Barriers to a Healthier Diet: The Case of Trade and Agriculture" menunjukkan keterjangkauan pangan menentukan status gizi individu.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021 menunjukkan rata-rata biaya makanan bergizi seimbang di Indonesia adalah Rp22.126 per hari per orang atau Rp663.791 per bulan per orang. Berdasarkan biaya makan di 90 kota pada tahun 2021, sekitar 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia tidak mampu membayar jumlah tersebut.
Data World Food Programme (WFP) menyebut harga makanan seperti beras di Indonesia bisa 50-70 persen lebih mahal dibandingkan harga di negara tetangga. Food Monitor CIPS juga menyebut harga gula, beras, dan kedelai masing-masing 55,68 persen, 38,36 persen, dan 15,94 persen lebih mahal daripada beberapa harga internasional untuk sepanjang tahun 2021.
Aditya mengatakan pandemi COVID-19 semakin menambah beban masyarakat yang berpenghasilan rendah. Berkurang atau hilangnya penghasilan membuat kecukupan gizi pada konsumsi pangan semakin tidak diprioritaskan. Alhasil ada kecenderungan memilih pangan dengan kandungan karbohidrat tinggi yang mengenyangkan tetapi minim nilai gizinya.
Jumlah orang yang tidak mampu membeli makanan sehat di dunia diperkirakan meningkat sebesar 267,6 juta pasca pandemi COVID-19. Angka stunting diperkirakan akan meningkat untuk pertama kalinya dalam dua dekade, dengan perkiraan 3,6 juta lebih.
Sama seperti negara lain, harga pangan di Indonesia naik tajam bersamaan dengan hilangnya pekerjaan akibat pandemi COVID-19. Hal ini mempengaruhi kemampuan jutaan orang untuk membeli makanan bergizi sehingga terpaksa mencari yang lebih murah dan kurang bergizi atau melewatkan makan sama sekali.
Sektor pertanian saat ini sedang menghadapi tantangan produksi yang disebabkan oleh perubahan iklim, belum memadainya infrastruktur pendukung, kurangnya penggunaan teknologi, berkurangnya lahan pertanian, berkurangnya jumlah petani, dan rendahnya produktivitas.
"Tantangan-tantangan tersebut seharusnya diikuti oleh kebijakan perdagangan pangan yang berorientasi pada kepentingan konsumen, lewat penyederhanaan regulasi impor sehingga bisa memastikan akses masyarakat terhadap pangan sehat dan bergizi yang terjangkau," kata Aditya.
Penelitian CIPS merekomendasikan target keterjangkauan pangan harus menjadi bagian dari Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (Ran Pasti) dan Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting.
Kementerian Perdagangan juga harus dimasukkan dalam rencana untuk meninjau kebijakan dan perangkat perdagangan seperti perizinan dan kuota impor/ekspor, termasuk evaluasi mekanisme neraca komoditas dan menghapus hambatan yang tidak perlu.
Selain itu, sebagai kementerian dan lembaga yang bertanggungjawab atas ketahanan pangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) harus menjadi anggota Tim Nasional Percepatan Penurunan Stunting untuk menyelaraskan kebijakan mereka dengan tujuan penurunan prevalensi stunting.
Baca juga: CIPS: Pemerintah perlu sasar solusi jangka panjang atasi harga pangan
Baca juga: FAO: Harga pangan global melonjak 14,3 persen pada 2022
Baca juga: Kemenkes kampanyekan asupan protein hewani untuk cegah stunting
Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023