Pakar bidang teknologi Yudho Giri Sucahyo menilai bahwa teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), termasuk ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI, tidak akan dapat menggantikan produk kreatif manusia.tetapi AI itu tidak akan bisa menggantikan produk kreatif manusia
“Saya meyakini bahwa secanggih apa pun, meskipun nanti (ChatGPT) tetap lebih bagus dari yang sekarang, tetapi AI itu tidak akan bisa menggantikan produk kreatif manusia,” kata Yudho yang merupakan dosen dan peneliti di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia saat dijumpai ANTARA di Jakarta, Rabu.
Meskipun ChatGPT mampu menulis apa pun, termasuk novel sekalipun, Yudho meyakini bahwa produk yang dihasilkan oleh teknologi AI tetap memiliki perbedaan dibanding dengan produk manusia yang menggunakan daya kreatifnya.
ChatGPT sendiri merupakan teknologi kecerdasan buatan generatif berupa chatbot yang mampu menjawab pertanyaan dengan susunan kata lebih luwes atau mirip seperti jawaban yang diberikan manusia.
Baca juga: Mengenal ChatGPT, chatbot yang mirip manusia
Teknologi ini dikembangkan oleh OpenAI, perusahaan rintisan yang berfokus pada penelitian kecerdasan buatan. Salah satu pendirinya adalah Elon Musk, miliarder pemilik perusahaan kedirgantaraan SpaceX dan pembuat mobil listrik Tesla yang belakangan juga mengakusisi Twitter.
Yudho menjelaskan bahwa ChatGPT menggabungkan AI dengan natural language processing (NLP) sehingga seakan-akan pengguna berdialog dengan manusia.
“Salah satu kelebihan dari ChatGPT adalah ketika kita bertanya sesuatu, mungkin pada saat awal kalau memang tidak ada datanya, ChatGPT itu juga nggak bisa jawab. Tetapi ketika kita bertanya sesuatu itu polanya sudah masuk, di kesempatan berikutnya ChatGPT akan juga berdialog dengan para sumber informasi yang lain,” jelas dia.
Dengan kemampuan yang semakin luar biasa, kata Yudho, ChatGPT memang pada akhirnya membantu siapa pun yang membutuhkan informasi untuk kepentingan produk pengetahuannya.
Menurut dia, kehadiran ChatGPT perlu dilihat sebagai alat bantu bagi manusia, bukan malah disalahgunakan sebagai jalan pintas untuk mengakali tugas bagi mahasiswa maupun mengakali pekerjaan bagi karyawan.
Baca juga: Microsoft akan kembangkan kemampuan Bing dengan integrasikan ChatGPT
“Kalau saya kemudian menulis paper atau menulis buku dengan sesimpel saya nanya ChatGPT, (lalu) copy-paste, ya nggak benar juga. Kalau begini kan artinya kejujuran akademiknya juga tidak bisa dipertanggungjawabkan,” kata dia.
Yudho mengatakan ChatGPT bermanfaat karena dapat memberikan informasi dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Ketika seseorang telah mendapatkan informasi tersebut, Yudho mengingatkan untuk tetap melakukan penggabungan informasi dari sumber lain dan mengecek kembali kebenarannya.
Terkait dengan dunia pendidikan, beberapa sekolah dan universitas di Amerika Serikat melarang ChatGPT karena khawatir disalahgunakan mahasiswa. Konsorsium universitas di Australia juga memiliki kekhawatiran yang serupa.
Lembaga pendidikan mungkin bisa menerapkan kebijakan untuk kembali ke medium kertas dan pena, bahkan menerapkan ujian secara lisan. Akan tetapi hal tersebut, menurut Yudho, hanya soal mekanisme saja.
“Tanggung jawab sebagai dosen atau guru adalah melakukan transfer pengetahuan dari apa yang ada di dia, entah itu berupa pengalaman pengajar tersebut atau berupa textbook, supaya siswa atau mahasiswa menjadi lebih pintar,” kata Yudho.
“Mahasiswa tentu dia akan juga mencari informasi dari berbagai pihak, tidak hanya dari dosen tetapi juga mungkin dari internet dan sebagainya. Tinggal pertanyaannya adalah tetap kejujuran akademik kan harus dijunjung tinggi,” imbuh dia.
Baca juga: Mayar.id luncurkan teknologi AI untuk UMKM
Baca juga: Fita perkenalkan fitur olahraga dengan teknologi AI
Baca juga: Software manajemen berbasis AI jadi tren di 2022
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023