Hamdani Wathoni yang akrab dipanggil Toni kehilangan istrinya pada 2020 silam. Istrinya meninggal dunia setelah sempat dirawat di RSUP Sanglah, Bali.terima saja formasi dokter umum, setelah dia masuk jadi ASN ... berikan beasiswa program dokter spesialis
Meninggal jauh dari tempat tinggalnya di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
"Akhirnya selama 5 hari dirawat, kondisi istri saya terus menurun hingga akhirnya meninggal dunia pada Mei 2020," kisah Toni yang berasal dari Kebun Ayu, Kabupaten Lombok Barat.
Bapak satu anak ini menceritakan bahwa akibat keterbatasan fasilitas, sarana, dan prasarana, serta dokter spesialis yang ada di rumah sakit di daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), memaksanya membawa istrinya berobat ke RSUP Sanglah Denpasar, Bali.
Pada sekitar bulan Maret 2020, istrinya divonis menderita penyakit lupus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Lupus (SLE) dapat memengaruhi sendi, kulit, ginjal, sel darah, otak, jantung, dan paru-paru.
Selama pengobatan di RSUP NTB hampir 3 bulan, pelayanan dan fasilitas di RSUP NTB sangat baik sehingga kondisi istrinya sempat mulai pulih dan normal. Bahkan dirinya dan pihak keluarga memiliki harapan besar istrinya akan sehat kembali seperti sedia kala.
"Bagian badannya yang bengkak-bengkak juga sudah normal," katanya.
Akan tetapi untuk tahap pemulihan akhir stadium SLE, tutur Toni, semua dokter spesialis dan komunitas SLE di RSUP NTB menyarankan agar melakukan perawatan stadium akhir di RSUP Sanglah.
Setelah berembuk dengan keluarga, istrinya setuju dibawa berobat karena semangatnya yang besar untuk kembali sehat. Jadi Toni putuskan berangkat bersama istri dan ibunya.
Namun demikian, melakukan pengobatan ke luar daerah tidak semudah di daerah sendiri. Apalagi RS Sanglah, Bali, sebagai rumah sakit rujukan menangani banyak pasien dari berbagai daerah di Indonesia terutama di Indonesia bagian timur.
Proses administrasi juga butuh waktu lama, belum lagi saat masuk UGD dan ruang perawatan.
Setelah mendapatkan ruang perawatan, istrinya akhirnya bisa dirawat intensif. Namun, karena lokasi perawatan jauh dari keluarga--ketika dibutuhkan donor darah--, prosesnya lama karena di sana tidak ada keluarga dekat yang bisa dihubungi.
Karena itu, ia berharap agar Pemprov NTB dapat menambah dokter spesialis untuk penyakit kronis sehingga pasien dapat ditangani di daerah dan tidak dirujuk berobat ke luar daerah.
Bagi Toni, keputusan melakukan pengobatan ke luar daerah merupakan keputusan berat, tapi demi harapan sembuh mau tidak mau harus dicoba sebagai bagian ikhtiar.
Terkait dengan itu, ia tidak ingin apa yang dialaminya terulang lagi pada pasien penyakit kronis lainnya. Untuk itu, dia berharap pemerintah daerah dapat meningkatkan fasilitas dan menambah dokter-dokter spesialis di setiap rumah sakit.
Semakin lengkap semakin bagus. Jadi, pasien dengan penyakit-penyakit kronis seperti jantung, kanker, struk, lupus, dan lainnya bisa ditangani di daerah.
Di samping itu, keluarga pasien juga tentu membutuhkan tambahan biaya hidup yang tidak sedikit ketika dirujuk berobat ke luar daerah.
"Kalau perawatan dan obat-obatan, sebagian besar memang ditanggung BPJS, tapi kita perlu siapkan biaya makan dan sewa tempat tinggal sementara. Dulu untuk sewa, saya bayar Rp1 juta satu bulan," katanya.
Di sisi lain, Toni saat ini bersyukur kalau status RSUP NTB kini sudah naik menjadi tipe A. Dengan demikian, layanan, fasilitas, sarana, dan prasarana akan meningkat.
"Dokter-dokter spesialis tentunya juga akan ditambah dan lebih banyak lagi," katanya.
Akan tetapi, bagi Imah (30), warga Perumnas Praya, jumlah dokter spesialis di RSUD Praya masih kurang. Hal itu dibuktikan ketika dirinya tiba-tiba mengalami sakit telinga pada malam hari. Namun ketika ingin berobat ke rumah sakit, dokter spesialis tidak ada pada malam hari.
"Poli pelayanan THT hanya buka pagi hari, sehingga jika ada penambahan dokter spesialis, maka pelayanan bisa maksimal," katanya.
Pemerintah diharapkan bisa meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan menambah fasilitas maupun jumlah dokter spesialis di rumah sakit.
Masyarakat butuh pelayanan kesehatan 24 jam. Artinya harus ada penambahan jumlah dokter di semua rumah sakit.
Akui kekurangan
Kepala Dinas Kesehatan NTB dr. Lalu Hamzi Fikri mengakui bahwa saat ini jumlah dokter spesialis dasar baru terpenuhi 60 persen di rumah sakit umum daerah (RSUD) di seluruh NTB.
Dokter spesialis dasar yang dimaksud, yaitu obstetri dan ginekologi (obgin), anak, bedah, dan spesialis penyakit dalam.
Saat ini disebutkan jumlah dokter umum sebanyak 1.519 orang dan dokter spesialis baru 479 orang. Padahal, standar rasio atau idealnya dokter spesialis itu 1:1.000 penduduk.
"Saat ini saja ketersediaan dokter spesialis berdasarkan perbandingan rasio satu orang dokter melayani 19.285 penduduk. Artinya terdapat kekurangan 40 kali dari ketersediaan dokter spesialis," ujarnya.
Untuk rincian dokter ini, terbanyak di RS di Kota Mataram sebanyak 245 dokter spesialis, RS di Lombok Timur 51 dokter spesialis, RS di Sumbawa 36 dokter spesialis, RS di Lombok Lombok Tengah 32 dokter spesialis, RS di Lombok Barat 32 dokter spesialis, RS di Bima 18 dokter spesialis, RS di Lombok Utara 17 dokter spesialis, RS di Dompu 10 dokter spesialis, RS di Kota Bima 9 dokter spesialis, dan RS di Sumbawa Barat 8 dokter spesialis.
Kemudian Saryankes di Kota Mataram 50 dokter spesialis, di Sumbawa 12 dokter spesialis, di Lombok Barat 2 dokter spesialis, serta Saryankes di Lombok Timur dan Kota Bima masing-masing satu dokter spesialis.
Memang sebaran dokter spesialis masih banyak menumpuk di Ibu Kota Provinsi NTB, Kota Mataram. Dari 42 rumah sakit milik pemda dan swasta di NTB, 13 rumah sakit merupakan milik pemda.
Hamzi mengaku saat ini NTB terancam krisis dokter spesialis. Pasalnya, dari 60 persen dokter spesialis dasar di rumah sakit pemerintah daerah ada di NTB sehingga perlu ada regenerasi karena ada yang pensiun dan menjelang memasuki pensiun.
Salah satu upaya yang akan dilakukan Pemprov NTB yaitu menyekolahkan dokter umum yang sudah menjadi PNS untuk mengambil program dokter spesialis.
"Dokter umum juga kami dorong mengambil spesialis. Alhamdulillah, di NTB pada tahun 2022 jumlah (dokter yang sedang pendidikan) spesialis kita untuk beasiswa sekitar 11 dokter. Kita dorong lagi dan kini sudah bisa sampai 29 dokter spesialis," terang Hamzi Fikri.
Untuk memenuhi dokter spesialis tersebut, pihaknya juga meminta dukungan dari pemerintah kabupaten dan kota untuk memberikan beasiswa dokter umum yang melanjutkan pendidikan spesialis.
"Apalagi dari Kemenkes saat ini membuka peluang untuk melengkapi dokter spesialis yang kurang di kabupaten dan kota. Jadi, paling tidak ada izin dan dukungan pembiayaan untuk sekolah spesialis. Sekarang empat kali dalam setahun dibuka untuk Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)," kata Hamzi Fikri.
Hamzi Fikri menyatakan ada peluang lagi dari pemda menutup kekurangan dokter spesialis di kabupaten dan kota. Karena, bila tidak ter-cover dalam beasiswa dari Kemenkes maka daerah yang harus menyiapkan.
Ikhtiar tersebut menjadi strategi BTP agar dokter spesialis yang disekolahkan itu ada perjanjian yang ditandatangani agar bisa kembali ke daerahnya. Misalnya, dari Sumbawa dokter yang diberikan rekomendasi kemudian kembali tetap ke daerahnya.
"Jadi ada ikatan dinas atau perjanjian yang ditandatangani," ujarnya.
Sementara itu, untuk pemerataan pihaknya juga mendorong pemda menyiapkan fasilitas penunjang kinerja untuk dokter spesialis.
Pemda, menurut dia, harus siapkan insentif dengan standar umum Rp25 juta sampai Rp30 juta per bulan. Insentif ini sifatnya stimulus untuk menjawab kelangkaan profesi spesialis dokter. Akan tetapi hal ini kembali lagi dengan kemampuan finansial daerah.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) NTB, Muhammad Nasir mengatakan setiap pembukaan perekrutan CASN (calon aparatus sipil negara), formasi dokter spesialis pasti banyak yang tidak terisi. Hal itu terlihat pada saat perekrutan CPNS 2019 dan PPPK Tenaga Kesehatan 2022.
Dalam perekrutan CPNS 2019, belasan formasi dokter spesialis Pemprov NTB tidak terisi karena tidak ada pelamar. Kemudian pada perekrutan PPPK Tenaga Kesehatan 2022, ada puluhan formasi dokter spesialis yang tidak terisi juga dengan penyebab yang sama.
Untuk itu, BKD dan Dinas Kesehatan NTB berkoordinasi dengan dinas lain untuk mencari solusi atasi persoalan ini.
"Kalau kita paksa, formasi dokter spesialis ini tetap tidak ada peminatnya. Kenapa kita tidak terima saja formasi dokter umum, setelah dia masuk jadi ASN kita cari solusinya. Misalnya, berikan beasiswa mereka untuk mengambil program dokter spesialis. Karena, itu jauh lebih hemat," ujarnya.
Beasiswa dari pemda tersebut itu akan menarik karena selama ini banyak dokter umum kesulitan melanjutkan pendidikan spesialis akibat terbentur biaya.
Belum lagi waktu yang tidak singkat untuk menyelesaikan PPDS.
Pewarta: Nirkomala*Akhyar Rosidi*Nur Imansyah
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023