Sebelum mengulas lebih mendalam, idealnya kita tahu terlebih dahulu, perincian dana haji yang naiknya cukup signifikan.
Tahun lalu, tepatnya 2022, biaya haji yang lebih dikenal dengan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) totalnya Rp98.379.021,09. Total dana tersebut sebenarnya adalah keseluruhan dana haji per orang. Dana itu dibagi menjadi dua elemen, yaitu biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) dan nilai manfaat (optimalisasi).
Nilai Bipih mencapai 39.886.009,00 merupakan dana yang dibayarkan oleh jamaah haji, sedangkan nilai manfaat berjumlah 58.493.012,09 yang akan ditanggung oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) .
Ketika dipersentasekan Bipih 40,54 persen berbanding 59,46 persen sebagai persentase nilai manfaat. Artinya, subsidinya lebih besar dari pada nilai pokoknya yang lazimnya subsidi itu lebih kecil.
Di lain sisi, ada hal telah diketahui khalayak umum bahwa syarat haji adalah bagi orang yang mampu. Dalam artian, seorang jamaah akan membayar biaya haji keseluruhan.
Tetapi nyatanya dana haji itu disubsidi, tidak keseluruhan ditanggung oleh jamaah, karena ada bantuan dari pemerintah. Lazimnya subsidi tidak lebih besar dari dana pokoknya. Akan tetapi sampai saat ini, nilai subsidi haji lebih besar melebihi nilai pokoknya.
Pertanyaan mendasarnya, bagaimana logika awalnya subsidi bisa seperti itu? Jika biaya haji dinaikkan, apakah artinya parameter mampu benar-benar menjadi lebih kuat, sehingga perlu rekonstruksi kembali makna mampu “istithoah” dalam berhaji.
Subsidi dana haji
Jamaah haji Indonesia merupakan jumlah terbesar di dunia. Perhitungannya berawal dari keputusan KTT-OKI tahun 1987 di Amman, Yordania, bahwasanya kuota haji dihitung berdasarkan rumus 1/1.000 per mil dari jumlah penduduk Muslim suatu negara.
Logikanya jika Indonesia penduduk Muslimnya sebesar 250 juta jiwa, ada 250 ribu orang per tahun yang berangkat haji. Akumulasi jamaah tunggu tersebut sampai saat ini totalnya +- 5 juta jiwa yang mengakibatkan masa tunggu mencapai kurang lebih 30 tahun.
Begitu besarnya jamaah haji mengakibatkan masa tunggu menjadi sangat lama. Idealnya, subsidi diberikan ketika situasi dan kondisi yang darurat, seperti halnya subsidi BBM. Dalam keadaan yang normal, peruntukan subsidi haji seharusnya perlu rekonstruksi ulang indikator peruntukannya.
Hal ini dengan tujuan menghindari pernyataan bahwa subsidi juga diperuntukkan bagi orang yang mampu. Sebab dalam kaitan haji, ada faktor syarat mampu bagi orang yang berkemampuan (istithoah) .
Artinya, di awal-awal perintah haji dikhawatirkan diwajibkan ke semua Muslim, tidak memandang miskin juga diwajibkan haji, padahal nyatanya tidak, haji bagi orang yang mampu.
Dari pernyataan di awal, bahwa subsidi ini dibayarkan oleh pemerintah melalui BPKH dari nilai manfaat investasi jamaah haji kesemuanya, termasuk jamaah tunggu.
Dana haji saat ini yang dikelola BPKH kurang lebih Rp169 triliun, dengan hasil nilai investasi sebesar sekitar Rp11 triliun. Dana investasi BPKH itulah yang dibayarkan ke Bipih sebagai kekurangan biaya haji keseluruhan, jadi bisa dikatakan bukan disubsidi langsung melainkan hasil investasi.
Dengan jamaah yang terus bertambah banyak, lebih tepatnya biaya operasional haji makin naik, maka otomatis pemerintah bertambah berat untuk menambal biaya tersebut. Efek terbesarnya nanti ditakutkan seperti skema ponzi, jamaah awal akan berangkat dahulu dari biaya jamaah baru.
Lambat laun, biaya tersebut akan habis lalu berakibat jamaah baru tidak mendapat porsi dana. Maka subsidi itu yang perlu ditinjau sampai kapan akan terus diberikan, berapa jumlah subsidi? Jangan sampai bahaya besar bom waktu tiba di belakang.
Reevaluasi makna "Istithoah"
Ibadah haji bisa dikatakan salah satu ibadah fisik yang membutuhkan kekuatan jasmani, terlebih lagi kemampuan dana. Nash bersepakat bahwa syarat penting haji ialah mampu atau istithoah. Para imam madzhab berbeda dalam penafsirannya, bahkan beragam dan meluas ke beberapa bidang, seperti kemampuan dalam bekal, kendaraan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Dalam kaitan ini, efeknya istithoah berimplikasi terhadap jamaah tunggu atau waiting list. Ketika makna istithoah mengalami penurunan kadar mampu, maka semakin banyak orang mendaftar haji. Oleh karenanya, pemerintah menerapkan sistem waiting list atau daftar tunggu.
Penerapan sistem waiting list awalnya bertujuan mengantisipasi terjadinya ketidakamanan dalam perjalanan ibadah haji. Dicontohkan, kalau seandainya diberangkatkan jutaan jamaah tersebut, maka akan terjadi desak-desakan dalam menunaikan ibadah haji, sehingga keamanan dari jamaah haji tidak bisa dipastikan, seperti tragedi Mina yang menyebabkan banyak jamaah meninggal.
Dengan kenaikan biaya haji secara logika mudah akan mengurangi jumlah antrean waktu dan jamaah yang mendaftar. Secara faktual, daftar tunggu jamaah haji di beberapa negara ada yang melebihi 100 tahun.
Padahal, sudah pasti umur manusia tidak mungkin mencapainya. Ini akibat subsidi negara yang terlalu besar. Jika biaya haji dinaikkan, kadar parameter mampu menjadi lebih tinggi; hanya benar-benar orang yang mampu secara finansial yang dapat berhaji.
Secara tidak langsung, kasus dana talangan yang menjadikan orang meminjam atau berhutang untuk haji dapat dicegah, setidaknya diminimalisir. Yang paling mendasar, jaminan jamaah tunggu yang mencapai 4,8 juta orang mendapatkan hak berangkat lebih terjamin dari dana yang sudah mereka kumpulkan.
Skema ponzi yang dikhawatirkan terjadi bisa dihilangkan dari prediksi yang ada. Artinya, jamaah tunggu pasti dan bisa berangkat haji dari dana yang sudah dikumpulkan di awal, tidak habis hanya memberangkatkan jamaah haji antrean awal.
Penulis meyakini bahwa tujuan pemerintah dengan menaikkan biaya haji juga untuk kemaslahatan jamaah, tetapi seyogianya perlu dikaji ulang besaran biaya untuk menyesuaikan kadar kemampuan masyarakat.
Selain itu pula, sangat urgen memikirkan cara bagaimana menaikkan nilai manfaat atau investasi dana haji supaya dapat mengurangi biaya operasional haji.
*) M Fuad Hadziq adalah pengamat masalah haji, PhD candidade Universiti Malaya Malaysia, dan dosen Ekonomi Syariah Universitas Terbuka
Pewarta: M Fuad Hadziq *)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023