Selain untuk memperingati peran dan sejarah penting pers secara nasional, HPN juga dihelat sebagai ajang silaturahmi dan konsolidasi seluruh komponen pers di Tanah Air, dalam rangka kemajuan pers nasional dan kepentingan bangsa Indonesia secara umum.
Sesuai dengan tema peringatan bahwa kebebasan adalah ruh bagi pers. Pasal 2 UU No. 40/1999 tentang Pers menyebut kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Tanpa adanya ruang kebebasan yang memadai, pers tidak akan pernah leluasa bergerak dalam menjalankan ragam fungsinya, terutama fungsi pengawasan (surveillance) (Lasswell, 1960; Wright, 1986). Tentu, yang dimaksud di sini adalah bebas yang bertanggung jawab, yakni berorientasi pada tanggung jawab sosial (social responsibility).
Demokrasi yang bermartabat akan sulit terwujud tanpa pengawasan yang optimal dari pers, dan kebebasan yang bertanggung jawab adalah acuan praksisnya. Kebebasan pers dan demokrasi ibarat dua keping mata uang. Demokrasi tidak akan bisa digdaya berjalan tanpa adanya pers yang bebas dan kebebasan pers tidak akan tercapai tanpa sistem (pemerintahan) yang demokratis.
Sebagai pilar keempat demokrasi, selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pers diharapkan dapat terus mendorong terwujudnya demokrasi berkualitas yang ditandai dengan penghargaan yang tinggi atas harkat dan martabat rakyat sebagai soko guru demokrasi.
Sebagaimana catatan Dewan Pers (2022), apabila kemerdekaan pers semakin menguat, niscaya kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin demokratis akan pula semakin meningkat. Hal ini mengingat; (1) kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, (2) terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan (3) untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (UU No. 40/1999 tentang Pers Pasal 4).
Tentang potret kebebasan pers di Indonesia, setidaknya kita dapat merujuk hasil pemeringkatan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022 oleh Reporters Without Borders (RSF) tahun 2022. Hasilnya, Indeks Kebebasan Pers (IKP) di Indonesia meraih skor 49,27 tahun 2022 dari sebelumnya mengantongi skor 62,60 pada tahun 2021.
Dari total 180 negara, posisi ini menempatkan Indonesia berada pada peringkat ke-117 tahun 2022 dari sebelumnya di peringkat ke-113 tahun 2021. Pemeringkatan ini diukur dari beberapa indikator, yakni kondisi politik, hukum, ekonomi, sosial, dan keamanan (Kompas, 3/5/2022).
Sementara survei nasional dari Dewan Pers tentang Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2022 menjadi 77,88 persen, naik 1,86 poin dari tahun 2021. Capaian ini menempatkan pers nasional berada dalam kondisi ‘cukup bebas’ untuk mengekspresikan informasi dan berita yang disajikan (Dewan Pers, 2022).
Untuk indeks demokrasi di Indonesia, survei The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Indeks Demokrasi 2021 menunjukkan skor rata-rata Indonesia mencapai 6,71 (skala 0-10). Artinya, makin tinggi skor, makin baik kondisi demokrasi suatu negara. Skor tahun 2021 naik dibandingkan tahun 2020, yakni 6,30.
Hasil survei ini menempatkan Indonesia berada di peringkat 52 dari 167 negara yang dikaji, naik dari sebelumnya tahun 2020 di peringkat 64. Indonesia masuk 10 negara dengan kinerja peningkatan skor terbaik.
Namun demikian, Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (Kompas, 15/2/2022). Sementara survei nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2020 menyebut untuk aspek kebebasan sipil tercatat skor 79,4, aspek hak-hak politik mencapai skor 67,85, dan aspek lembaga demokrasi meraih skor 75,66 (BPS, 2020).
Kualitas wartawan
Sebagai ujung tombak di lapangan, wartawan dituntut memiliki kualitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di bidang jurnalistik. Kompetensi wartawan tidak bisa ditawar lagi guna merengkuh profesionalisme kerja.
Wartawan profesional di era disrupsi informasi dihadapkan pada kompetensi terhadap kesadaran (awareness)--etika dan hukum; kompetensi pengetahuan (knowledge)--,pengetahuan umum dan pengetahuan khusus maupun kompetensi keterampilan (skills)--menulis, wawancara, riset, investigasi, serta penggunaan teknologi.
Sertifikasi kompetensi untuk mengakselerasi kualitas kompetensi wartawan menjadi sebuah keniscayaan. Menjadi acuan evaluasi kinerja wartawan. Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik dan menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan.
Dengan menggandeng sedikitnya 30 Lembaga Uji Kompetensi Wartawan (LUKW) berlisensi dari Dewan Pers, sertifikasi wartawan dilakukan melalui mekanisme Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sesuai jenjang kompetensinya, yakni wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama.
UKW mengacu pada Peraturan Dewan Pers No. 1 tahun 2010, yang diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers No. 4 tahun 2017 tentang Sertifikasi Kompetensi Wartawan. Hingga awal Januari 2023, baru sekitar 23.300 wartawan atau kurang dari 10 persen dari keseluruhan 235 ribu wartawan di Indonesia. Jumlah media di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 47 ribu di mana 43 ribu (91,5 persen) di antaranya adalah media online.
Pada HPN 2023 kali ini kompetensi profesional wartawan menjadi lebih kritikal. Optimalisasi kompetensi wartawan dan realitas politik (tahun politik) yang sedang terjadi akan melahirkan tantangan baru.
Adanya era disruptif eksistensi pers dan profesi wartawan media (terutama media mainstream) juga makin diuji. Meminjam pandangan Ignatius Haryanto (2014; Wijaya & Yudiningrum, 2016), bahwa sertifikasi wartawan memang diharapkan untuk menuju perbaikan profesionalitas wartawan di Indonesia, bukan malah untuk disalahgunakan. Dengan kompetensi yang lebih baik dapat terbangun demokrasi yang bermartabat. Selamat Hari Pers Nasional 2023!
*) Prof. Dr. Widodo Muktiyo adalah Staf Ahli Menteri Kominfo RI dan Guru Besar Ilmu Komunikasi UNS Solo
Pewarta: Prof. Dr. Widodo Muktiyo*)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023