Mengurai kemacetan Jakarta hingga akar masalah

18 Februari 2023 13:16 WIB
Mengurai kemacetan Jakarta hingga akar masalah
Sejumlah kendaraan bermotor terjebak kemacetan di kawasan Kasablanka, Jakarta Selatan, Jumat (15-4-2022). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

penerapan ERP dibutuhkan kajian yang sangat panjang dan matang karena kebijakan ini akan memiliki dampak sosial yang luas

Permasalahan kemacetan di kota-kota besar, khususnya Jakarta, merupakan pemandangan sehari-hari dan menjadi masalah klasik yang belum terurai dari beberapa era kepemimpinan.

Mengutip pemberitaan dari sejumlah media, berdasarkan daftar kota termacet yang dirilis TomTom Traffic Index baru-baru ini, Jakarta menempati posisi ke-29 dari 389 kota dunia. Di ASEAN, Jakarta menempati urutan pertama kota paling macet. Di bawah Jakarta, ada Bangkok di posisi ke-57, disusul Singapura pada posisi ke-127, dan Kuala Lumpur pada tempat ke 143. TomTom melakukan riset terhadap 389 kota di 56 negara dan enam benua di dunia. Penentuan kota termacet itu didasarkan pada perhitungan waktu perjalanan, biaya BBM, emisi karbon, dan kemudahan akses antarkota.

Menjawab permasalahan kemacetan Jakarta yang semakin mengkhawatirkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan telah menyiapkan beberapa langkah sebagai solusi, di antaranya Dishub DKI akan menutup 27 u-turn atau putaran balik di lima wilayah Jakarta pada Juni 2023, yang ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan cukup tinggi di Jakarta.

Padahal menurut hemat penulis, kebijakan penutupan putaran balik hanyalah memindahkan titik kemacetan dari satu titik ke titik lainnya. Secara logika saja, jika memang tujuan pengendara berada di jalur seberang, maka otomatis pengendara tersebut tetap saja akan mencari jalan untuk memutar ke tujuannya.

Selain menutup putaran balik, Pemprov DKI juga berencana menambah jalan satu arah untuk mengatasi permasalahan macet di Jakarta. Penulis dalam hal ini juga melihat rencana kebijakan ini seperti setengah hati, jangankan untuk menerapkan sistem satu arah, menertibkan pengendara sepeda motor yang melawan arah/arus saja tidak pernah diatur tegas.

Pemprov DKI Jakarta juga berharap perusahaan mengatur jam kerja agar kendaraan tidak terlalu padat saat jam sibuk. Namun, lagi-lagi kebijakan tersebut hanyalah ‘setengah hati’ karena bentuknya hanya imbauan, menyerahkan pada masing-masing perusahaan soal pengaturan jam kerja pegawai.

Terakhir, rencana kebijakan terbaru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan adalah dengan penerapan electronic road pricing (ERP) alias jalan berbayar. Pemerintah meyakini kebijakan ini dapat menekan kemacetan di Jakarta karena akan membuat pengguna kendaraan pribadi berpikir untuk membawa kendaraannya jika banyak pengeluaran ekstra selain untuk bahan bakar dan parkir.

Namun, penerapan ERP dibutuhkan kajian yang sangat panjang dan matang karena kebijakan ini akan memiliki dampak sosial yang cukup luas. Bahkan di beberapa negara maju seperti Hong Kong, Edinburgh, atau kota-kota besar lainnya di Amerika Serikat , rencana penerapan ERP mendapat banyak penolakan.

Betul saja, belum saja diterapkan, aturan soal ERP yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik (PLLE) mendapatkan penolakan dari masyarakat, khususnya pengemudi ojek online. Karena penolakan itu, Raperda ERP sempat akan ditarik, namun Pemprov DKI batal menarik raperda tersebut.

Seperti setengah hati, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo langsung merespons penolakan tersebut dengan mengatakan ojek online (ojol) bakal dikecualikan pada penerapan ERP. Padahal jika diterapkan di lapangan, bagaimana cara mengidentifikasi pengendara yang merupakan ojek online atau bukan? Pasalnya ojek online hanya bermodalkan jaket, tanpa ada perbedaan warna tanda nomor kendaraan bermotor, seperti transportasi umum lainnya yang berwarna kuning.


Melihat akar masalah

Sebetulnya jika menilik semua akar masalah kemacetan terjadi karena jumlah populasi dan jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta dan Bodetabek sudah melebihi kapasitas.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah mencapai 21,75 juta unit, atau tumbuh 7,6 persen dengan proporsi tertinggi adalah sepeda motor mencapai 75,92 persen, sebaliknya pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen/tahun dan diperparah dengan kondisi jalan yang rusak serta penutupan sebagian jalan karena proyek abadi gali tutup lubang utilitas bawah tanah.

Presiden Joko Widodo sendiri baru-baru ini mengakui jika kemacetan jalan raya di berbagai daerah di Indonesia itu seiring dengan semakin meningkatnya penjualan kendaraan bermotor.

Untuk itu penjualan didorong untuk lebih ke arah ekspor. "Setiap tahun tumbuh signifikan. Tahun 2022 tumbuh 18 persen untuk penjualan mobil dan juga sepeda motor mengalami peningkatan 3,3 persen. Akibatnya, kita sekarang macet di mana-mana," kata Presiden, Kamis (16-2-2023).

Namun sayangnya, pernyataan Presiden tersebut belum didukung dengan kebijakan tegas untuk pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor. Pemerintah melalui kebijakannya juga mendukung kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi, baik dari skema kredit/utang, maupun dukungan produksi kendaraan murah serta terjangkau.

Padahal, seperti tulisan sebelumnya berjudul “Mengatasi Ketertinggalan Transportasi Publik”, bahwa mobilitas yang tinggi di perkotaan menuntut tersedianya sarana transportasi umum yang andal, bukan justru memanjakan warganya dengan kendaraan pribadi.

Mengutip dari pernyataan Presiden Kolombia Gustavo Francisco Petro Urrego yang menyebutkan “Negara maju bukan tempat di mana orang miskin memiliki mobil. Negara maju adalah di mana orang kaya menggunakan transportasi umum.”

Jika memang mau mencari akar masalah kemacetan, maka dibutuhkan ketegasan regulasi yang jelas mendukung penggunaan angkutan umum, serta mengeluarkan juga regulasi yang bertujuan mengurangi jumlah populasi kendaraan pribadi.

Berdasarkan data BPS, dalam 5 tahun terakhir, cakupan pelayanan transportasi publik di Jakarta sudah meningkat hampir dua kali lipat, dari 42 persen menjadi 82 persen. Hal ini tentu merupakan data yang baik yang harus disambut dengan kebijakan yang mendorong warga menggunakan transportasi umum.

Keterkaitan antara transportasi umum atau integrasi antarmoda harus menjadi perhatian, sebab mengutip halaman bptj.dephub.go.id, salah satu hal yang membuat angkutan umum tidak nyaman adalah tidak adanya integrasi antarmoda. Ini membuat masyarakat harus mengeluarkan upaya ekstra, baik secara fisik maupun materi, untuk sampai ke lokasi tujuan.

Ojek online seharusnya dapat berfungsi sebagai sarana penghubung ke transportasi publik, dengan catatan harus ada regulasi yang jelas terkait pengaturan ojek online sebagai transportasi publik seperti pemberian pelat kuning sehingga dapat dibatasi juga populasinya.

Di samping itu, pembenahan transportasi umum lokal di kota-kota dalam wilayah Bodetabek yang masuk dalam Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten juga harus segera dilakukan. Layanan transportasi umum itu, seperti Trans Patriot (Kota Bekasi), Trans Pakuan (Kota Bogor), Trans Anggrek (Kota Tangerang Selatan), dan Trans Tangerang (Kota Tangerang).

Tanpa kebijakan pengendalian kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor yang efektif, kemacetan lalu lintas bakal bertambah parah, terutama di Jabodetabek dan kota-kota besar.




Ahmad Jayadi, Pranata Humas Ahli Muda Kementerian PUPR











 

Pewarta: Ahmad Jayadi*
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023