• Beranda
  • Berita
  • Guru besar Unpatti ingatkan bahaya deforestasi dan degradasi hutan

Guru besar Unpatti ingatkan bahaya deforestasi dan degradasi hutan

21 Februari 2023 12:24 WIB
Guru besar Unpatti ingatkan bahaya deforestasi dan degradasi hutan
Guru besar Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon, Maluku Prof Agus Kastanya. ANTARA/DedyAzis.

Guru besar Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Maluku Prof Agus Kastanya mengingatkan ancaman deforestasi dan degradasi luasan hutan di provinsi itu.

“Tentu persoalan besar kita adalah pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dan artinya kalau kita lihat saat ini terjadi bencana itu sudah digambarkan, misalnya, banjir di mana-mana kekeringan dan krisis ekonomi di sebagian besar dunia,” kata Prof Agus Kastanya saat dihubungi di Ambon, Selasa.

Menurut dia data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini hutan di Indonesia seluas 125 juta hektare yang terdiri atas hutan konservasi, hutan produksi, hutan konversi dan juga hutan lindung.

Sementara kondisi hutan Maluku yang berjumlah 3.919.617 hektare dari 125 juta hektare seluruh Indonesia. Hutan konversi atau hutan yang nanti dimanfaatkan ke bidang-bidang lain tetapi itu dikonversi maka itu yang disebut deforestasi sebesar 1,3 juta.

Agus mengatakan kerusakan hutan biasanya disebabkan oleh dua faktor yakni deforestasi dan degradasi. “Deforestasi atau pengalihan fungsi hutan menjadi lahan lain, sedangkan degradasi yakni menebang hutan sehingga potensi hutan menurun atau berkurang,” ucapnya.

Baca juga: EU setujui UU cegah impor barang yang terkait dengan deforestasi

Baca juga: YKAN perkuat pemberdayaan masyarakat kurangi degradasi mangrove


Dua hal tersebut mengakibatkan menurunnya potensi hutan sehingga fungsi konservasi, perlindungan, dan sosial ekonomi bagi masyarakat juga akan terganggu.

“Karena itu ancaman-ancaman ini tidak bisa diselesaikan oleh satu negara sekalipun di saat ini karena hampir seluruh negara mengalami pengalihan fungsi hutan. Karena itu negara-negara di seluruh dunia selalu berkumpul untuk membicarakan bagaimana mengendalikan ini semua,” urainya.

Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Lingkungan dan Pembangunan pun telah membahas hal tersebut dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi pada 1992 di Rio de Janeiro, Brazil dan pada 2015 di Paris.

Kesepakatan Paris didukung sedikitnya 195 negara termasuk dua negara produsen emisi karbon terbesar dunia yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok.

Seluruh dunia ditekankan untuk harus meningkatkan kontribusi untuk penurunan emisi. Diawali dari 29 persen, kemudian diusulkan menjadi 38,89 persen. Dibantu luar negeri meningkat lagi menjadi 43,20 persen.

“Ini bukan perkara yang mudah, kalau bicara presentasi penurunan emisi dan itu berasal dari darurat 55 sektor utama ya memang tentu di sektor-sektor lain sebagai bagian tetapi paling tidak energi yang berasal dari fosil, lalu industri kemudian kehutanan, sampah dan pertanian itu sumber-sumber emisi yang terjadi,” jelasnya.

Selain menurunkan emisi, diketahui bahwa karakter isi pulau-pulau kecil dengan gas-gas yang sempit dan pendek. Jika hutan terbuka sedikit saja akan terjadi erosi dan karena gas, pendek dan sempit maka seluruh aktivitas di darat masuk ke laut, katanya.

“Kita punya kondisi lingkungan pulau-pulau kecil dan tata ruang walaupun separuhnya mau dikonversikan sekitar 500 ribu hektare dengan ekosistem pulau-pulau kecil maka Maluku akan hancur,” tandasnya.

Baca juga: Ilmuwan sebut laju deforestasi berpotensi tingkatkan penularan malaria

Baca juga: Aceh alami deforestasi 9.383 hektare hutan selama 2022

Pewarta: Ode Dedy Lion Abdul Azis
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023