Mengolah sampah dari limbah menjadi duit

22 Februari 2023 05:27 WIB
Mengolah sampah dari limbah menjadi duit
Deretan kemasan plastik dibutuhkan manajemen pengolahan sampah agar tidak membebani tempat proses akhir (TPA). ANTARA/ Ganet Dirgantoro
Persoalan sampah masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah kota-kota besar di Indonesia, termasuk dalam hal ini Jakarta.  Padahal berbagai inovasi dan teknologi pengelolaannya terus digulirkan agar sampah memiliki nilai ekonomi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya agar sampah yang berasal dari rumah tangga tidak seluruhnya dikirim ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.

Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) setiap tanggal 21 Februari seperti mengingatkan kembali peristiwa longsornya TPA Leuwigajah di Cimahi, Jawa Barat yang menimpa dua kampung di sekitarnya pada 18 tahun lalu. HPSN mengingatkan tentang pentingnya manajemen pengolahan sampah agar tidak sepenuhnya bergantung kepada tempat pemprosesan akhir (TPA).

Jika seluruh rumah tangga bisa meminimalkan pembuangan sampah, setidaknya hanya sampai pada tempat pemrosesan sementara (TPS), maka akan sangat membantu beban di TPA.

Kuncinya tentu terletak kepada persepsi masyarakat terhadap sampah. Sepanjang masih menganggap sebagai limbah, tentunya akan dibuang serta tidak akan dimanfaatkan.

Menurut Wakil Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Justin Wiganda, kunci keberhasilan dalam mengolah sampah terletak kepada kesadaran masyarakat untuk melakukan pemilahan.

Justin mengatakan dengan kemajuan teknologi sekarang ini hampir semua produk sampah dapat diolah dan didaur ulang sehingga memiliki nilai ekonomi.

Justin menjelaskan bank sampah yang saat ini tengah digencarkan sejumlah pemerintah daerah seharusnya dapat menjadi solusi persoalan penanganan sampah terutama terkait dengan pengumpulan dan pemilahan.

Beberapa daerah saat ini sudah memiliki bank sampah. Namun, dalam perkembangannya memang bank sampah, terutama swadaya masyarakat, yang mengalami kesulitan, sehingga pada akhirnya mati suri, tinggal namanya tetapi tidak ada aktivitas.

Padahal, masih menurut Justin, hampir semua sampah memiliki nilai di bank sampah, seperti sampah organik bisa dijadikan pupuk atau pakan larva, sampah plastik dan kertas atau karton bisa dijual di perusahaan daur ulang untuk plastik dan bahan bangunan, bahkan sisanya bisa dijadikan bahan bakar untuk pembangkit dengan nilai kalori tak kalah dengan batu bara.

Hanya saja bank sampah ini juga harus dikelola dengan profesional sehingga masyarakat bisa langsung merasakan manfaatnya. Dalam hal ini penting juga untuk mendirikan induk bank sampah agar mendukung bank sampah yang kecil-kecil jangan sampai mati suri.

Dapat dibayangkan jika  bank sampah itu hanya bisa menghimpun plastik bekas pakai, hanya lima sampai sepuluh kilogram saja, maka untuk mengirim ke perusahaan daur ulang sudah pasti habis di ongkos.

Kunci bank sampah dapat berkembang,  sangat bergantung kepada efisiensi dan biaya transportasi, serta yang lebih penting lagi adalah peran pemerintah untuk memberikan edukasi kepada warga.

Justin menjelaskan empat bank sampah anggota ADUPI belum lama ini meraih penghargaan karena dinilai berhasil menjadikan sampah bernilai ekonomi bagi warga sekitarnya.
Direktur Legal, External Affairs, dan Circular Economi Chandra Asri, Edi Rivai (kiri) dan Wakil Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Justin Wiganda (kanan) tengah berbincang-bincang dalam diskusi mengenai pengolahan sampah. (ANTARA/ Ganet Dirgantoro)


Kebijakan

Persoalan sampah erat kaitan dengan dukungan kebijakan pemerintah untuk menciptakan ekonomi sirkular, yakni model ekonomi untuk menciptakan siklus hidup yang lebih panjang terhadap suatu produk.

Sebagai contoh, plastik yang selama ini kerap menjadi persoalan karena limbahnya sulit untuk diurai di alam, bahkan membuat lingkungan menjadi tercemar tidak hanya di darat tetapi juga di sungai, bahkan di laut.

PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, sebagai perusahaan yang bergerak di bidang produsen bijih plastik tentunya memiliki andil untuk mendukung pemerintah dalam menciptakan iklim ekonomi sirkular.

Terkait hal itu, Chandra Asri sejak lama telah mengembangkan aspal campur plastik yang telah banyak diadopsi jalan-jalan di beberapa daerah.

Aspal dengan tambahan plastik kresek ini berdasarkan hasil penelitian memiliki usia pakai lebih lama ketimbang aspal biasa karena lebih tahan terhadap air.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan penambahan plastik pada aspal dapat meningkatkan stabilitas jalan hingga 40 persen.

Direktur Legal, External Affairs, dan Circular Economi Chandra Asri, Edi Rivai mengatakan teknologi aspal campur plastik ini bertujuan agar sampah plastik yang selama ini bernilai rendah (low value) bisa menjadi bernilai tinggi (high value). Namun, untuk menerapkan aspal campur plastik ini di seluruh Indonesia membutuhkan kolaborasi dan peran aktif berbagai pihak.

Edi mengatakan, pihaknya bersama mitra terus berupaya membangun rantai pasok agar aspal campuran plastik ini dapat diterima di seluruh daerah di  Indonesia.

 
Salah satu taman di DKI Jakarta yang mengajak pengunjung ikut menjaga kebersihan. ANTARA/ Ganet Dirgantoro


Konsistensi

Dalam menerapkan penggunaan aspal campur plastik juga bukan perkara mudah, meski praktik di lapangan bisa membuat plastik kresek bekas yang semula tidak ada harganya menjadi bernilai tinggi.

Pemilahan plastik masih menjadi kendala, karena plastik kresek di Indonesia lebih sering digunakan sebagai wadah sampah yang nasibnya akan sampai ke TPA. Padahal kalau masyarakat teredukasi mengenai harga plastik kresek bekas, mereka bakal menyimpannya dengan baik karena bisa menjadi duit.

Jika di luar negeri dikenal adanya a Material Recovery Facility (MRF) yakni menjadikan sampah sebagai aset sehingga membuatnya memiliki nilai ekonomi. Dengan tersedianya fasilitas ini maka penanganan limbah dapat dilaksanakan dengan cepat karena sudah ada pos masing-masing.

Hal ini memang sudah diaplikasikan melalui bank sampah, namun di Indonesia masih dilakukan manual, menggunakan tenaga manusia untuk melakukan pemilahan, sedangkan di luar negeri semuanya sudah dilakukan oleh mesin.

Tidak hanya itu, konsistensi terhadap kebijakan juga sangat dibutuhkan. Sebagai contoh, larangan kresek sebagai kantong belanja yang tentunya akan mengganggu program aspal campur plastik ini karena dari segi ketersediaan menjadi tidak ekonomis lagi.

Memang bahan plastik bukan kresek juga dapat didaur ulang menjadi berbagai komoditas plastik lainnya, bahkan bisa menjadi bahan bangunan seperti campuran paving block sehingga tetap memiliki nilai ekonomi. Tetapi patut juga diwaspadai banyak juga bahan-bahan yang beredar di pasaran merupakan campuran yang sulit untuk dipilah.

Pada akhirnya, untuk menjadikan sampah bernilai ekonomi, kembali tergantung kepada biaya, efisiensi. Selain itu, selama barang itu sulit untuk dipilah, maka nasibnya akan kembali menjadi limbah yang akhirnya harus dibawa ke TPA.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023