Perwakilan residen Turki dari UNDP Louisa Vinton menyampaikan dalam sebuah konferensi pers daring bahwa pemerintah negara itu telah menginspeksi sekitar 70 persen bangunan yang terdampak gempa. Dari inspeksi tersebut, 412.000 unit tempat tinggal di 118.000 bangunan telah runtuh atau harus dibongkar sepenuhnya.
Dia mengatakan bahwa jumlah puing yang harus dibersihkan sangat banyak, dan UNDP berupaya untuk meminimalkan ancaman limbah berbahaya.
Catherine Smallwood, pejabat kedaruratan senior untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan dalam konferensi pers pada Selasa bahwa penanggulangan risiko penyakit menular saat ini menjadi sangat penting mengingat sejumlah pengungsi hidup dalam kondisi berdekatan dengan satu sama lain, terkadang dengan akses ke toilet dan air bersih yang tidak memadai.
Menurut Vinton, dua pekan setelah rangkaian gempa pertama, ada alasan mengapa gempa bumi itu disebut sebagai bencana alam terbesar dalam sejarah Turki.
Dia menuturkan bahwa pemerintah telah mengakhiri tahap pencarian dan penyelamatan korban untuk rangkaian gempa pertama pada Minggu (19/2), dan penyintas terakhir dievakuasi dari reruntuhan hampir 300 jam pascagempa.
"Terdapat peningkatan risiko penyakit pernapasan, kolera, hepatitis A, dan campak," paparnya.
Dalam beberapa pekan terakhir, Provinsi Kahramanmaras di Turki selatan diguncang oleh serangkaian gempa bumi yang magnitudonya berkisar antara 6,4 hingga 7,7.
Rentetan gempa itu juga mengguncang beberapa wilayah di Suriah. Secara keseluruhan, diperkirakan 47.000 orang tewas di kedua negara tersebut, menurut sejumlah laporan media.
Pewarta: Xinhua
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023