Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran mengatakan, hilirisasi jangan diikuti dengan kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah.Pelarangan ekspor akan berdampak negatif untuk kita, seperti memunculkan risiko balasan atau retaliasi dari mitra dagang. Pasar komoditas internasional juga akan bergejolak....
"Pelarangan ekspor akan berdampak negatif untuk kita, seperti memunculkan risiko balasan atau retaliasi dari mitra dagang. Pasar komoditas internasional juga akan bergejolak karena supply yang ada tidak bisa memenuhi demand," ujar Hasran melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Kebijakan hilirisasi yang dicanangkan pemerintah merupakan langkah positif untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan membuka peluang Indonesia terintegrasi ke dalam rantai nilai global atau Global Value Chain (GVC).
Baca juga: Presiden Jokowi sebut semua komponen mobil listrik ada di Indonesia
Hasran menjelaskan, kebijakan pelarangan ekspor yang pernah terjadi pada crude palm oil atau CPO akan mempengaruhi perdagangan Indonesia secara umum di komoditas lainnya.
Menurutnya, kebijakan proteksionis bukanlah jawaban atas upaya pemulihan ekonomi yang sedang dijalankan Indonesia. Saat risiko kebijakan proteksionis semakin besar di masa pandemi, keterlibatan Indonesia di dalam GVC justru perlu diperkuat.
Sementara itu, hilirisasi yang merupakan sebuah proses meningkatkan nilai tambah suatu komoditas dengan mengubahnya menjadi barang jadi atau setengah jadi, akan membutuhkan bahan baku seutuhnya dari dalam negeri atau menambahkan komponen dari luar negeri (impor).
Hilirisasi akan membuka peluang kerja, meningkatkan nilai ekspor (memperbaiki neraca perdagangan dan menambah devisa), dan menarik investasi. Bagi komoditas nikel dan bauksit, investasi yang akan masuk adalah perusahaan-perusahaan smelter.
Sayangnya hilirisasi yang dicanangkan Indonesia saat ini adalah hilirisasi yang dibarengi dengan pelarangan ekspor komoditas terkait. Hilirisasi pada dasarnya membutuhkan modal yang sangat besar, terutama dalam pembangunan smelter.
Memaksa perusahaan-perusahaan yang ada untuk membangun smelter justru menambah beban dengan keuangan yang besar. Di saat bersamaan, hal ini berpotensi menghadapi kerugian.
Besarnya biaya yang perlu dikeluarkan untuk pembangunan smelter akan mendorong monopoli, karena hanya perusahaan besar dan kuat secara finansial saja yang mampu membangun smelter.
"Hilirisasi yang ideal adalah meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri, dengan cara mengubahnya menjadi barang jadi atau barang antara. Namun, apabila ada perusahaan yang masih mau mengekspor bahan mentah maka hal tersebut tidak boleh dilarang," kata Hasran.
Baca juga: Kemenko Marves: Hilirisasi perikanan perlu diperkuat dengan investasi
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan insentif fiskal maupun subsidi bagi perusahaan yang mau melakukan hilirisasi.
Apabila insentifnya menarik, perusahaan yang ada saat ini akan terdorong untuk membangun smelter, investor baru akan datang untuk mendukung hilirisasi. Di saat yang sama, perusahaan yang hanya mampu mengekspor bahan mentah juga tetap mampu untuk beroperasi.
Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023