Juru Kampanye Pantau Gambut Wahyu Perdana mengatakan pangan warga lokal yang secara ekosistem kerap berada di lahan gambut, seperti pohon sagu, bisa lenyap akibat kerusakan gambut. Ketika pangan lokal itu hilang, maka budaya dan identitas warga lokal juga ikut hilang.
"Papua punya kompleksitas lebih tinggi karena pada akhirnya bukan hanya tanah yang hilang, tapi identitas banyak suku juga hilang ketika (lahan gambut) itu dibuka dalam skala besar," ujarnya dalam sebuah diskusi bertajuk 'Food Estate untuk Membangun Kedaulatan Pangan' di Jakarta, Jumat.
Wahyu menjelaskan gambut mampu menyimpan karbon yang cukup signifikan, sehingga setiap pembakaran atau pembukaan lahan gambut itu bisa mengeluarkan emisi ke atmosfer.
Dari berbagai studi, paparnya, setiap satu hektare gambut yang dibuka akan meninggalkan emisi kurang lebih sebanyak 427,2 ton setara karbon dioksida.
"Walaupun lahan gambut yang terdegradasi dan luasan lahan gambut di dunia ini tidak lebih dari 6 persen, tapi sumbangsih pada emisi karbon secara global hingga 63 persen," kata Wahyu.
Pantau Gambut menyoroti kerusakan gambut di Kalimantan Tengah, salah satunya akibat proyek Food Estate. Ekosistem gambut yang sudah rusak tidak bisa dipulihkan lagi karena proses pembentukan gambut terjadi sangat lama.
Proses pembentukan termudah gambut di Indonesia adalah selama 30.000 tahun. Bahkan, beberapa studi menyebut rata-ratanya butuh waktu hingga 100.000 tahun baru terbentuk lahan gambut.
Lebih lanjut Wahyu memaparkan jumlah kerusakan lahan gambut akibat proyek Food Estate di Kalimantan Tengah mencapai 3.965,56 hektare terhitung sejak tahun 2020 sampai pertengahan 2022.
Proyek Food Estate yang telah merusak lahan gambut dan digadang-gadang mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional itu ternyata mengalami gagal panen, contohnya singkong. Umbi singkong tumbuh kerdil dan tinggi sianida.
Adapun padi yang ditanam di lahan gambut Food Estate hanya mampu memproduksi padi 1,5 sampai 2,9 ton per hektare. Sedangkan, padi yang ditanam di lahan mineral bisa menghasilkan padi hingga 6,2 sampai 7,3 ton per hektare.
"Pangan lokal sagu bisa menghasilkan pati basah berkisar 150 hingga 300 kilogram per batang. Kalau kita merujuk saja ke Balitbang Kementerian Pertanian, idealnya satu hektare bisa sampai 150 batang sagu," kata Wahyu.
Baca juga: Bappenas: Kondisi ekosistem gambut dan mangrove terus menurun
Baca juga: Pantau Gambut:Alih fungsi lahan gambut berakibat buruk bagi lingkungan
Baca juga: Pantau Gambut: 64 persen kebakaran lahan gambut di luar area konsesi
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023