• Beranda
  • Berita
  • Hari Meteorologi Dunia pengingat perubahan iklim

Hari Meteorologi Dunia pengingat perubahan iklim

15 Maret 2023 10:27 WIB
Hari Meteorologi Dunia pengingat perubahan iklim
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati (tengah) bersama Deputi Meteorologi meninjau alat operasional utama BMKG di Bandara El-Tari Kupang. (ANTARA/HO-BMKG)
Pada tanggal 23 Maret 1950 dibentuk organisasi khusus yang membidangi meteorologi bernama World Meteorological Organization (WMO). Hari dibentuknya organisasi tersebut kemudian juga diperingati sebagai Hari Meteorologi Dunia (HMD).

Peringatan itu berfungsi sebagai pengingat masyarakat global akan perubahan iklim. Dikutip dari laman resmi WMO, Tema Hari Meteorologi Dunia ke-73 adalah "The Future Of Weather, Climate And Water Across Generations".

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D kepada Antara menuturkan saat ini, rata-rata suhu global lebih tinggi 1 derajat Celcius dibandingkan masa pra-industri pada tahun 1850 hingga 1900.

Di Indonesia, BMKG mencatat, meningkatnya suhu global itu telah menyebabkan gletser di Puncak Jayawijaya 99 persennya sudah mencair.

Berdasarkan hasil riset BMKG, saat ini tinggal kurang lebih dua kilometer persegi atau satu persen dari luas awalnya sekitar 200 kilometer persegi.

Analisis BMKG pada tahun 2025, es di puncak Jayawijaya diprakirakan sudah tidak ada lagi, habis karena suhu pada atmosfer Bumi yang ditimbulkan oleh efek gas rumah kaca terus meningkat.

Yang termasuk gas rumah kaca yang ada di atmosfer antara lain adalah karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC dan PFC). Salah satu yang dianggap paling sensitif meningkatkan suhu global adalah CO2.

Di Indonesia, meningkatnya suhu juga membuat periode ulang anomali iklim El Nino dan La Nina semakin pendek dari 5-7 tahun pada periode 1950-1980, menjadi hanya 2-3 tahun sejak 1981 hingga saat ini.

Seluruh fenomena tersebut berakibat pada semakin meningkatnya frekuensi intensitas dan durasi cuaca ekstrem kering dan basah yang akhirnya juga dapat berdampak pada ketahanan pangan di dalam negeri.

Frekuensi intensitas dan durasi cuaca ekstrem itu menyebabkan kejadian bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, banjir bandang, badai tropis, puting beliung, dan kekeringan juga semakin meningkat frekuensi, intensitas, durasi, dan kejadiannya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, 95 persen dari kejadian seluruh bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi akibat ekstrem basah. Salah satu pemicunya adalah anomali iklim.

Oleh karena itu, BMKG menekankan, masyarakat global, termasuk Indonesia, membutuhkan tindakan mendesak sejak dini untuk memangkas emisi gas rumah kaca yang menjadi pemicu kenaikan suhu global demi memastikan generasi mendatang dapat hidup lebih baik.


Pemantau atmosfer

Saat ini, hanya ada 33 Stasiun Pemantau Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch/GAW) di dunia, salah satunya berada di Indonesia yakni di Bukit Kototabang, Sumatera Barat.

Stasiun itu merupakan salah satu stasiun jaringan dunia yang fungsinya melaksanakan pengamatan, pengumpulan, penyebaran, pengolahan, dan analisis komposisi kimia atmosfer, gas-gas rumah kaca dan parameter fisis atmosfer.

Pada 1996, pengukuran gas rumah kaca di GAW Bukit Kototabang untuk tingkat konsentrasi CO2 sebesar 372 PPM (parts per million), pada tahun 2022 konsentrasi CO2 naik menjadi 413 PPM.

Para ahli menilai, pencapaian angka 400 PPM ini adalah sebuah catatan tersendiri bagi sejarah manusia, menggambarkan betapa cepatnya emisi yang disebabkan oleh konsumsi manusia dalam satu abad terakhir.

Indonesia harus dapat menjaga konsentrasi CO2 tidak boleh lebih dari 450 PPM. Pasalnya, jika konsentrasi CO2 melebihi 450 PPM, maka dikhawatirkan intensitas cuaca ekstrem akan semakin sering kejadiannya, dengan durasi yang semakin panjang.

Bila emisi gas rumah kaca terus meningkat dengan laju peningkatan seperti sekarang, maka diperkirakan pada akhir abad 21 kenaikan suhu akan meloncat mencapai 3,5-4 derajat Celcius, atau tiga kali lipat dari saat ini.

Suhu Indonesia terpantau mulai mengalami kenaikan sejak 1990 menjadi 1,1 derajat Celcius, relatif sedikit lebih rendah dari rata-rata dunia 1,2 derajat Celcius. Naiknya suhu di Indonesia itu tak lepas dari efek gas rumah kaca hingga alih fungsi lahan.

Berdasarkan data dari 91 stasiun pengamatan BMKG, suhu normal di Indonesia berkisar antara 21,3 derajat Celcius hingga 26,8 derajat Celcius pada periode 1991-2020, dan suhu udara rata-rata tahun 2022 adalah sebesar 27 derajat Celcius.


Peringatan dini

BMKG telah rutin mengeluarkan peringatan dini, namun tetap diperlukan tindakan proaktif dari masyarakat untuk mengakses informasi tersebut, apalagi di level akar rumput.

Seorang nelayan harus bisa secara mandiri mengakses informasi angin dan ketinggian gelombang untuk dapat menentukan kapan waktu berlayar, petani pun harus mampu mengecek sendiri informasi iklim dan cuaca agar dapat menentukan jenis tanaman yang cocok.

Apalagi kini BMKG telah berhasil melakukan lompatan inovasi prakiraan cuaca. BMKG sudah dapat memberikan peringatan dini 30 menit sebelum kejadian.

Peringatan dini di Indonesia dibuat secara berlapis, mulai dari enam bulan sebelum kejadian, kemudian diperbarui setiap bulan, menjadi sepekan, setiap tiga hari, hingga 30 menit sebelum kejadian.

Peringatan dini yang dilakukan secara berlapis itu tidak lepas dengan posisi Indonesia yang berada di antara benua Asia dan Australia, serta Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, ditambah topografi Indonesia bergunung-gunung.

Posisi itu membuka kemungkinan cuaca berubah cepat, berbeda dengan negara-negara benua yang cuacanya tidak sedinamis atau sekompleks seperti Indonesia. Jadi potensi prakiraan meleset di Indonesia lebih besar, bukan karena alat yang tidak canggih sehingga menghasilkan data yang kurang akurat.

Perlu diketahui, BMKG rutin memberikan pelatihan kepada negara-negara yang ada di Pasifik, sebagian Asia dan Afrika. Artinya BMKG dipercaya, dan kualitas data setara dengan Australia dan negara-negara maju Asia dan Eropa.

Namun dalam manajemen kebencanaan, selain penguatan komponen struktural dari peringatan dini, hal tak kalah pentingnya adalah respons masyarakat dalam aksi dini. Karena secanggih apapun peringatan dini yang disiapkan, apabila tidak disertai dengan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam merespons peringatan dini, maka prioritas pengurangan risiko bencana tidak akan tercapai.

Maka itu, literasi Iklim yang menyasar masyarakat multi-segmen perlu terus digencarkan secara masif melalui kerja sama dengan multipihak agar terjadi percepatan kesadaran tindakan aksi dini dalam masyarakat.

BMKG mempunyai program unggulan dan prioritas, yakni kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk petani dan Literasi Iklim untuk Generasi Muda dan Masyarakat Komunitas. Melalui program itu, BMKG langsung berinteraksi dengan pengguna terakhir informasi.

Melalui SLI diharapkan dapat menjadi bagian dari pertanian cerdas iklim (climate smart agriculture) yang berujung pada ketahanan pangan nasional. SLI dan Literasi Iklim untuk Generasi Muda dan Masyarakat Komunitas juga diharapkan menjadi bagian yang mendukung program Pemerintah dalam upaya memberdayakan masyarakat agar mampu melakukan tindakan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim secara mandiri.

Menjelang Hari Meteorologi Dunia tahun ini, tentunya BMKG akan terus meningkatkan layanan dengan cara menguatkan observasi, analisis, prediksi, perhitungan numeris.

BMKG optimistis dapat lebih mampu memberikan layanan informasi dan menyebarluaskan informasi. Apalagi didukung peralatan teknologi terkini, memperkuat analisis dan peningkatan SDM, dengan melahirkan 500 doktor baru di BMKG agar dapat menghadapi dinamika cuaca maritim di Indonesia.

Diharapkan waspada cuaca dan peduli iklim menjadi budaya dan kebutuhan di masyarakat Tanah Air agar tidak mengalami kejadian ekstrem yang dapat berakibat bencana.

 

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023