Di era keterbukaan informasi, berbagai instansi pemerintah seolah berlomba dalam menyajikan pelayanan informasi sebaik, secepat dan seterbuka mungkin, dengan menempatkan para jagoan komunikasi di garda terdepan. Pemilihan para pimpinan dan personel kehumasan, biro komunikasi atau pusat penerangan yang tepat, menjadi penentu kesuksesan dalam membangun citra baik institusi. Sejumlah instansi pemerintah berubah asyik dan responsif, meski ternyata banyak pula yang masih menggunakan “gaya lama”.
Dalam memastikan pelayanan prima pada Pusat Penerangan Hukum di Kejaksaan Agung, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyeleksi ketat untuk posisi Kepala Puspenkum. Seorang Kapuspenkum, dia pilih berdasarkan performa, gaya komunikasi, kapasitas dan kemampuan, baik kemampuan teknis yuridis maupun pengetahuan tentang kejaksaan secara menyeluruh.
“Termasuk tupoksi kejaksaan, juga kemampuan hukumnya harus bagus, karena semua perkara yang ditangani di kejaksaan tidak hanya korupsi, juga tindak pidana umum, pidana militer, dan di bidang Datun yang sangat luas cakupannya, termasuk bidang intelijen,” papar Jaksa Agung Burhanuddin.
Hal-hal itulah yang harus dikuasai oleh seorang Kapuspenkum, sehingga Jaksa Agung tidak bisa memilih sosok secara asal-asalan.
Dalam hal komunikasi, Jaksa Agung mensyaratkan seorang Kapuspenkum memiliki gaya komunikasi yang tenang, tidak emosional atau eksplosif dan bisa menahan diri.
Jadi gaya komunikasinya harus betul-betul gaya komunikasi kemasyarakatan. Karena Kejaksaan menyampaikan sesuatu harus sampai ke masyarakat, sehingga harus jelas gaya komunikasinya.
Selain itu, juru bicara pada Kejaksaan Agung juga dituntut mampu membangun elit Penkum yang humanis. Satu lagi hal nonteknis namun tergolong penting, sosok yang ditunjuk sebagai Kapuspenkum adalah orang kepercayaan penuh pimpinan Kejaksaan Agung.
Atas semua kriteria dan alasan tersebut, Jaksa Agung Burhanuddin pada periode ini telah mempercayakan posisi strategis sebagai penjaga citra lembaga Adhyaksa pada Ketut Sumedana, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Bali yang diboyong ke Jakarta untuk mengomandoi Puspenkum.
Ketut pun mengaku bangga atas kepercayaan yang diberikan kepadanya dari pimpinan tertinggi Kejaksaan Agung itu.
“Saya sangat bangga dan menikmati menjadi Kapuspenkum, disamping menggunakan komunikasi langsung dengan para awak media, bisa juga dengan sarana digital teknologi. Jadi bisa kerja dan ketemu di mana dan kapan saja (Work From Anywhere/WFA),” katanya.
Transformasi teknologi digital, membantu Ketut untuk menyampaikan kinerja lebih mudah, cepat dan biaya ringan, tanpa harus tatap muka dengan media dan masyarakat.
Jaksa Agung sendiri mendorong Kejaksaan digital dilakukan tanpa harus menunggu perintah. Karena itu, insan Puspenkum harus beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, terutama penyampaian kinerja kepada masyarakat, sehingga instansi itu tidak dibilang tidur.
Hal yang kurang lebih sama juga disampaikan Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anang Ristanto.
Humas selalu dituntut untuk memahami kebijakan atau isu yang berkembang setiap saat di masyarakat.
Untuk itu humas juga perlu kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dan jelas, membaca situasi dan beradaptasi dengan perubahan dan tantangan yang muncul setiap saat.
Selebihnya, mengenali target audiens, sehingga dapat menyampaikan pesan dengan cara yang cepat dan tepat.
Humas yang hangat
Para petugas humas yang menyadari betul tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagai penyambung komunikasi dengan media dan masyarakat, secara otomatis akan bersikap responsif, komunikatif, dan hangat. Bagaimanapun kesibukan yang tengah dijalani, merespons komunikasi dengan cepat tetap diupayakan. Seperti yang dicontohkan Staf Biro Komunikasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Christian Samosir.
Beberapa hari lalu, saat ia hendak melakukan perjalanan dinas keluar kota, sekitar 10 menit sebelum boarding pesawat, dia masih sibuk melayani komunikasi dengan awak media, termasuk mencarikan foto-foto dokumentasi kegiatan yang dibutuhkan oleh media.
Setelah mengirim sejumlah foto yang dibutuhkan si wartawan, dia berpamitan untuk memulai penerbangan dan mematikan ponselnya. Sesaat setelah mendarat, Chris pun bergegas membalas pesan yang sempat tertahan selama dia dalam penerbangan. Begitu sungguh-sungguhnya dia menghayati peran sebagai penyambung komunikasi bagi institusinya.
“Kami bekerja semaksimal mungkin, mengupayakan yang terbaik,” ujar dia.
Kehangatan komunikasi juga ditunjukkan Kevin Maulana, rekan sekantor Christian Samosir. Saat ia terlambat membalas pesan WhatsApp beberapa menit, ia buru-buru meminta maaf.
“Maaf baru dibalas, saya tadi sedang naik motor, bentar yaa,” tulis Kevin.
Kemudian ia pun segera menindaklanjuti permintaan wawancara kepada atasannya. Tak butuh waktu lama, Kevin sudah mengabari kapan wawancara bisa dilaksanakan.
Christian dan Kevin adalah orang-orang yang hampir tidak memiliki waktu libur dengan ponsel dalam posisi selalu aktif, demi tertunaikannya tugas secara paripurna.
Gaya lama
Di antara pesona para penjaga citra institusi yang piawai menjaga reputasi kantornya, rupanya di era keterbukaan informasi seperti saat ini, masih banyak pula pejabat dan petugas kehumasan yang berdiam diri mempertahankan “gaya lama”.
Birokrasi zaman dahulu identik dengan respons lambat, sikap dingin, dan tidak peduli dengan kepentingan relasi. Penyakit semacam itu ternyata tetap lestari di sejumlah instansi yang enggan berbenah, meski zaman telah banyak berubah. Padahal hubungan humas dengan media atau relasi lain semestinya berlangsung simbiosis mutualisme. Namun gaya lama yang dipertahankan itu cukup membuat para pekerja media merasa frustasi.
Jurnalis RTV yang tinggal di Padang, Sumatera Barat, Juabdi Nursyah kadang merasa kecewa dengan pelayanan humas sejumlah instansi pemerintah yang masih lambat dalam merespons komunikasi.
“Ada ya WA itu dibaca doang, emang koran dibaca, kita kan menunggu balasannya ya,” katanya mengeluh.
Dalam meminta konfirmasi berita, Juabdi juga kerap menemui kesulitan karena rendahnya tingkat respons petugas kehumasan.
“Dan kadang ada juga pertanyaan kita harus didikte dulu,” cerita dia.
Dalam pengamatan para awak media di Padang, petugas humas lebih mementingkan konten media sosial untuk publikasi instansinya dari pada melayani wartawan.
Sedangkan Pythag Kurniati, editor Kompas.com yang tinggal di Solo, Jawa Tengah, menyayangkan Humas yang lambat dalam mengirimkan rilis berita. Padahal kerja awak media berkejaran dengan waktu untuk menyajikan berita tercepat.
Untuk kecepatan diseminasi informasi, lantas Pythag mengenang sosok almarhum Sutopo Purwo Nugroho, mantan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat (Pusdatin) pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dedikasi seorang Sutopo, menurut dia, mencerminkan humas yang sesungguhnya humas.
“Bagaimana totalitas pimpinan humas, sangat berpengaruh pada performa kerja tim yang dipimpinnya,” ujar Pythag.
Ada pula pengalaman Andre Wiradi, Manager Komunikasi Pemasaran pada perusahaan start-up teknologi di Jakarta, yang merasa syok ketika menghubungi humas instansi pemerintah, tapi reaksinya tidak terduga.
“Btw anda dapat nomor saya dari mana?” jawabnya.
Buat Andre, pertanyaan itu sungguh menggelikan ketika dilontarkan seorang pejabat humas. Sebab, menurutnya, sudah selayaknya nomor ponsel humas itu tersebar dan bisa diakses siapa saja pihak yang berkepentingan.
Melihat masih adanya anomali dalam pelayanan humas, pakar komunikasi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang Abdullah Khusairi, turut angkat bicara.
Menurutnya, pemimpin institusi harus memberi peran yang lebih besar kepada humas agar mereka berani mengambil sikap dan tindakan sehingga public relation institusi tersebut bisa berjalan baik dan bagus.
“Institusi yang tidak care dengan komunikasi publik, akan dijauhi publik,” kata dia.
“Apalagi lembaga layanan publik dari pemerintah, kepedulian tersebut harus ditingkatkan agar akses informasi tidak tertahan di humas, apalagi hanya menunggu perintah atasan,” katanya.
Doktor Pengkajian Islam Bidang Komunikasi dan Media itu mencontohkan beberapa kasus di pemerintah daerah, terjadi lemahnya peran humas dan diambil alih oleh kepala daerah hanya karena kepentingan elektabilitas.
“Menurut pengamatan saya, beberapa website pemerintah daerah, juga media sosial mereka, tidak dikelola dengan profesional dan menakjubkan,” ujarnya.
“Kalaupun ada yang aktif, tidak atraktif untuk dinikmati oleh publik. Ini menunjukkan tenaga profesional aparatur pemerintah di kehumasan pemerintah daerah butuh perhatian penuh,” kata Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol itu.
Sebagai tulung punggung komunikasi bagi institusinya, semestinya insan humas mudah diakses, mudah dihubungi, membangun komunikasi hangat dengan media, agar citra baik instansi yang menjadi goal dari keberadaan humas dapat tercipta.
Pewarta: Sizuka
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023