Pembawa lagu religi bertemakan salawat dan kini menjadi A'wan PBNU (2022-2027) itu menjelaskan pentingnya "paket" hablumminallah dan hablumminannas, karena itu selama masih ada saling membenci dan saling mencaci, maka amalan tidak akan dihitung Allah sebagai kebaikan, atau amalannya dihapus dan tidak diterima oleh Allah.
Dari fatwa Habib Syech itu, maka puasa juga tidak akan dihitung sebagai kebaikan oleh Allah bila pelakunya masih belum bisa menahan diri dari berbuat jelek dan menjelekkan orang lain.
Kalau hanya menahan lapar, tentu puasa itu sangat mudah. Selain menahan lapar, puasa juga haruslah menahan diri dari berbagai perbuatan jelek dan menjelekkan orang lain.
Nah, belajar menahan diri di era digital itu bukanlah perkara mudah, karena masyarakat yang hidup di era digital itu "difasilitasi" oleh pola komunikasi digital yang memungkinkan orang untuk komentar atau share informasi yang lepas kontrol untuk mencaci, menjelekkan, dan membenci itu. Sulit kan?
Boleh dibilang, struktur komunikasi digital memang bisa menjadi "mesin pembunuh" karakter, sehingga dunia maya pun dijejali dengan informasi hoaks dan pertikaian antara buzzer versus buzzer yang diwarnai dengan ujaran kebencian dan saling mengolok-olok/menyalahkan.
Ibaratnya, teknologi semakin maju, namun manusia semakin purbakala, karena karakter "menghalalkan" hoaks, buzzer, bully, spam, hack, atau ujaran kebencian (menyalahkan/mencela), seperti bukan manusia saja, atau seperti bukan manusia yang maju saja, karena menghalalkan segala cara.
Namun, siapa pun tidak punya alternatif, kecuali memasuki lapangan/ring disrupsi berupa hadirnya perangkat digital itu dengan siasat waras, maju, dan strategis di tengah kegilaan dunia yang tanpa obat itu.
Dengan demikian, era digital memerlukan cara-cara komunikasi berbasis karakter yang waras, maju, dan strategis, atau cara-cara yang tidak terpengaruh untuk mementingkan viral semata namun mengorbankan/membunuh karakter (menjadi tidak waras). Wujudnya, kita tidak melayani "olok-olok" dengan "olok-olok" pula.
Ya, dunia digital memang sarat dengan jebakan digital (hoaks, ujaran kebencian atau olok-olok yang tidak waras). Misalnya, video lama yang dimunculkan lagi, seperti Gempa di Cianjur (21/11/2022), yang justru diramaikan seolah-olah sebagai video longsor di Palopo, Sulawesi Selatan (26/6/2020), atau kejadian yang sudah berselang dua tahunan. Tentu banyak publik tertipu, apalagi kalau video dari luar/luar negeri, tapi diberi narasi kejadian di dalam negeri.
Contoh lain, upaya membenturkan Islam dengan Pancasila, mana yang paling baik antara Islam dan Pancasila? Tentu, kaum milenial yang awam akan menjawab Islam, kemudian ada ajakan untuk memakai Islam dan meninggalkan Pancasila, padahal "logika" ala HTI dan kawan-kawan itu salah besar, karena Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi, tentu tidak pas membandingkan agama dengan ideologi.
Atau, contoh lain jebakan digital untuk "menjadi sesat/kafir" dari Salafi/Wahabi/Anti-Madzhab karena "miskin" ilmu. Misalnya, anti-madzhab karena tidak tahu "ilmu" yang benar, seperti tidak mau hormat bendera, padahal bagaimana dengan ritual mencium Hajar Aswad (batu) saat beribadah haji? Paham itu menunjukkan realitas yang hakikatnya sok tahu madzhab Imam Syafii, tapi hanya potongan-potongan.
Atau, ritual Kristen Ortodox yang memang mirip Islam, seperti shalat, azan, dan puasa, lalu diberi narasi bahwa ada penyesatan Islam, padahal bukan penyesatan Islam, namun memang beda agama, meski mirip. Kemiripan Kristen Ortodox dengan Islam, karena Kristen Ortodhox itu dari jalur Nabi Ishaq dan Islam dari jalur Nabi Ismail. Jadi, sama-sama dari nabi keturunan Ibrahim, namun Islam akhirnya disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW. Kristen Ortodox punya doa mirip azan (Doa Sherma Israel), namun sejatinya bukan azan.
Atau, tahlilan langsung dicap kafir. "Itu nggak paham tahlil. Tahlil itu membiasakan Lailaha ilal-Lah sebanyak 33 kali dan bacaan lainnya. Orang kafir selama 80 tahun, lalu baca Syahadat bisa menjadi Mukmin, la kok Tahlil dianggap kafir," kata ulama KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha' (22/11/2018). Itulah "logika" radikal/sesat dalam kajian agama "awam" di medsos yang menjebak.
Intinya, gosip digital itu bisa menjadi "jebakan" dalam bentuk informasi bohong/keliru maupun informasi realistis, tapi "dibelokkan", mengingat publik Indonesia memang masih ada yang suka gosip dengan tema-tema SARA (suku/etnis, agama, ras/pribumi-nonpribumi, dan antargolongan/kaya-miskin), dan politik (beda pilihan politik, bukan soal negara/bangsa).
Sekretaris Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Achmad Uzair Fauzan yang mengutip data dari BNPT menyebutkan bahwa ada 9.000-an situs yang mengandung konten radikalisme atau konten keagamaan yang keliru. Padahal, 54,87 persen generasi muda mencari referensi keagamaan melalui internet.
Dahulu, masyarakat mencari pemahaman keagamaan ke mimbar-mimbar pengajian, sekarang masyarakat mencarinya ke media sosial atau situs web. Jadi, harus hati-hati. Begitu, Uzair Fauzan mengingatkan dalam sebuah webinar bertajuk "Meningkatkan Kesadaran Bela Negara melalui Pembentukan Karakter Pancasila pada Mahasiswa".
Untuk kehati-hatian di era digital itu perlu informasi berbasis: sanad (narasumber kompeten), matan (konten yang dilengkapi tabayyun/klarifikasi/berimbang), keadilan/objektif, ukhuwah/kebersamaan) dan rawi (penyampai/media terverifikasi Dewan Pers/UKW/UU Pers/UU ITE). Tanpa sanad, matan, rawi, maka informasi itu harus ditinggalkan agar kita selamat dalam "berselancar" di era digital.
Dengan demikian, puasa Ramadhan pun bisa "naik kelas" dari hanya menahan lapar menjadi menahan diri, seperti difatwakan Habib Syech tentang pentingnya menghapus saling membenci, saling mencaci, dan saling menjelekkan, termasuk melalui dunia digital, agar puasa dan amalan yang ada tetap dihitung Allah sebagai kebaikan yang diterima oleh-Nya. Semoga.
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023