Sejak puluhan tahun, peliknya persoalan daging sapi seolah-olah tak berujung, karena ada saja pihak-pihak yang menjadi spekulan, bahkan seperti oknum pejabat berwenang, penjual atau pelaku usaha nakal, sebaliknya yang dirugikan, jelas rakyat jelata.
Selain persoalan tata niaga impor daging sapi dari hulu sampai hilir, amburadulnya data juga berkontribusi dalam kekusutan soal daging sapi, menurut pengajar agrobisnis Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf.
Dari sisi pendataan, angka konsumsi daging sapi yang dirilis Pusdatin Kementan sering berbeda dengan yang yang dikeluarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Dari sisi tata niaga, kepentingan berbeda antara pemangku kepentingan utama pengadaan daging sapi, yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, acap kali dimanfaatkan oleh importir nakal untuk meminta tambahan kuota impor.
Mungkin publik belum lupa, kasus “main mata” antara importir daging sapi dan politisi partai yang menerima suap miliaran Rupiah untuk menggolkan tambahan ribuan ton kuota impor.
Para pelaku yang terlibat telah divonis penjara menunjukkan betapa urusan daging sapi bisa menjadi carut marut berujung persoalan hukum yang rumit.
Impor melonjak
Data Kementan menyebutkan, impor 2.100 ton daging sapi dilakukan sejak 1969 saat produksi dalam negeri sebesar 164.900 ton, namun impor melonjak 12 kali lipatnya menjadi 276.761 ton pada 2021 saat produksi lokal mencapai 487.802 ton.
Dengan angka konsumsi 670.799 ton, berarti jumlah impor (276.761 ton) plus produksi lokal (487.802 ton) sama dengan 764.563 ton sehingga kebutuhan nasional mestinya sudah terpenuhi, bahkan surplus 93.764 ton (764.563 ton dikurangi 670.799 ton).
Jika angka konsumsi daging sapi mengacu pada Susenas BPS 2021, surplus makin besar, mengingat dengan konsumsi 2,2 kg per kapita (dengan jumlah penduduk 272,68 juta jiwa), total konsumsi menjadi 599.896 ton sehingga surplus 164.667 ton (764.563 ton dikurangi 599.896 ton).
Ironisnya, kenaikan impor daging sapi, termasuk substitusinya, yakni daging kerbau beku asal India yang jauh lebih murah (harga Bulog sekitar Rp60.000-an per kg, dibandingkan daging sapi Rp90.000-an) ternyata tidak berhasil menekan harga.
Harga eceran daging sapi yang pada 1983 sebesar Rp2.536 per kg terus merambat naik dan di awal Ramadhan 1444H saat ini atau akhir Maret 2023 sekitar Rp135.000 per kg, sementara di sejumlah pasar di ibu kota rata-rata Rp150.000, bahkan di Batam menembus angka Rp190.000 per kg.
Dibandingkan dengan laju inflasi rata-rata 8,7 persen setahun selama periode antara 1983 dan 2022, harga rata-rata daging sapi naik lebih tinggi, yakni 11,5 persen.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa demi meraup laba lebih besar, para pedagang menawarkan daging kerbau India yang teksturnya mirip dengan daging sapi pada calon pembeli. Cara lain dengan menjual daging kerbau kemasan berlabel daging sapi.
Kecurangan lain juga dilakukan para pedagang dengan menggelonggong (memberi minum sebanyak mungkin) pada sapi-sapi, beberapa jam sebelum disembelih, untuk menaikkan berat massa daging. Selain curang, cara ini juga membuat ternak tersiksa.
Tata niaga
Kepala Research Center or Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippe Ann Amanta menilai bahwa pemerintah perlu membenahi tata niaga daging sapi dengan melihat persoalan di hulu, yakni panjangnya rantai distribusi yang menjadi penyebab harga tinggi.
Alurnya, mulai dari impor sapi bakalan yang harus digemukkan oleh peternak sebelum disembelih, lalu dijual langsung atau melalui tengkulak ke pedagang besar (grosir) yang membantu rumah potong hewan (RPH) mencarikan calon pembeli.
Tahapan berikutnya, daging sapi itu dijual ke pedagang grosir berskala kecil yang menjualnya lagi ke pedagang eceran di pasar-pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai ke tangan konsumen. “Proses panjang ini memerlukan biaya tak sedikit,“ tutur Amanta.
Sementara itu, kolaborasi, seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan membuka pusat pembibitan dan pemotongan sapi di NTT sejak 2014, perlu dikembangkan untuk mengatasi kelangkaan daging sapi di wilayah-wilayah tertentu.
DKI Jakarta yang kekurangan pasokan daging sapi sekitar 95.000 ton setahun mustahil untuk membuka peternakan mengingat padatnya kawasan permukiman, sehingga lebih memilih bersinergi dengan Pemprov NTT.
Provinsi-provinsi lain yang kekurangan pasokan daging sapi juga bisa membangun kolaborasi dengan 10 provinsi sentra produksi daging sapi, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Perlu kemauan baik pemerintah untuk membenahi tata niaga daging sapi, transparansi kuota impor, koordinasi dan sinergi antara Kementan dengan Kemendag terkait pendataan angka konsumsi, kebutuhan, pengembangan peternakan, hingga pengawasan pada pedagang yang nakal.
Diversifikasi atau substitusi konsumsi protein hewani perlu dilakukan dengan pemanfaatan telur atau daging ayam serta protein nabati dari kacang-kacangan, terutama kedelai.
Dengan begitu, ketergantungan pada daging sapi tidak terlampau mengikat seiring tata niaga daging yang semakin rapi, transparan, dan sehat.
*Nanang Sunarto adalah mantan Wapempelred ANTARA
Pewarta: Nanang Sunarto*)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023