"ASEAN harus bekerja sama karena belum ada satu pun model pengaturan dan pengawasan terkait kripto di dunia," ungkap Perry dalam acara High Level Seminar From ASEAN to The World bertajuk "Payment System in Digital Era" di Kabupaten Badung, Bali, Selasa.
Penanganan kripto merupakan salah satu cara mewujudkan pemulihan ekonomi yang inklusif di ASEAN serta memitigasi risiko yang ada.
Selain antara sesama anggota ASEAN, ia menuturkan kerja sama harus dilakukan dengan Financial Stability Board (FSB) serta Bank for International Settlements (BIS) untuk membawa standar serta praktik pengaturan dan pengawasan global ke ASEAN.
Baca juga: Geliat industri aset kripto di Indonesia setelah pandemi
Meski dunia telah memiliki pedoman, jalur, risiko, hingga kurikulum yang sama mengenai kripto, namun penerapannya tentunya berbeda di tiap negara.
Di Indonesia, telah terdapat Undang-Undang (UU) yang mengamanatkan Bank Sentral dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur dan mengawasi aset kripto, yakni UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Perry menjelaskan OJK mengawasi aset kripto dari segi transaksinya dalam perdagangan hingga daya tarik terhadap peminatnya. Sementara, BI mengawasi dari segi sistem pembayaran agar aset kripto tidak dijadikan alat pembayaran.
"Inilah mengapa kita harus melihat model bagaimana suatu negara dapat bersama-sama di antara koordinasi dan kolaborasi lembaga untuk memiliki pendekatan pengaturan dan pengawasan terhadap kripto," ucap dia.
Baca juga: Pedagang aset kripto sambut kolaborasi perkuat perdagangan kripto
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023