Periode 1.000 HPK dinilai sebagai masa emas bagi buah hati untuk bertumbuh dan berkembang secara optimal.
"Di masa emas ini, kita harus betul-betul memperhatikan tumbuh dan kembang anak lewat asah, asih, asuh. Tidak cuma nutrisi, tetapi semuanya harus diperhatikan, jangan sampai terlewat," ujar Keumala dalam acara bincang-bincang "The Best Care For the First 1000 Days" di Jakarta, Selasa.
Asah, kata dia, terkait dengan stimulasi yang diberikan orang tua kepada bayi, baik lewat kegiatan fisik maupun interaksi sosial.
Lewat stimulasi kegiatan dan interaksi sosial yang tepat, maka pertumbuhan motorik dan kemampuan sosial anak dapat berjalan sesuai usianya, katanya.
Dengan asih, orang tua memberikan kasih sayang dan mengajak anak mengekspresikan perasaan dengan tepat sehingga pertumbuhan emosinya berjalan optimal.
"Tunjukkan kasih sayang lewat kontak langsung. Bisa dilakukan dengan mencium dan memeluk anak. Orang tua bisa ajak anak untuk bersama-sama mengungkapkan rasa sayang kepada sesama," kata dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Siloam ASRI itu.
Sedangkan dengan asuh, kata Keumala, orang tua diajak mengasuh anak dengan memberikan perawatan yang tepat sehingga kesehatan fisik dan mentalnya bisa terjaga.
Dalam pemberian nutrisi, misalnya, orang tua harus belajar memberikan nutrisi terbaik lewat air susu ibu (ASI) eksklusif dan menyempurnakannya dengan makanan pendamping ASI (MPASI).
Dari segi kesehatan, anak-anak sedari dini dilengkapi imunisasinya dan diajarkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS), yang diharapkan mampu menjadi gaya hidup yang tak terpisahkan hingga mereka dewasa.
"Ini semua harus terus dipantau. Anak harus diperhatikan, sesuai tidak tumbuh-kembangnya dengan indikator usianya. Jangan sampai kita melewatkan masa emas ini karena tentu tidak akan kembali lagi," ujar Keumala.
1.000 HPK juga penting untuk diawasi oleh orang tua, sejalan dengan program Kementerian Kesehatan, sebagai upaya pencegahan stunting.
Stunting diakibatkan oleh kekurangan asupan gizi kronis atau berlangsung cukup lama.
Kasus stunting menjadi perhatian serius pemerintah karena menyebabkan gangguan pada penderitanya di masa depan, yakni perkembangan fisik dan kognitif yang tidak optimal.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kemenkes pada 2022 mencatat prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen.
Selain mengajak orang tua untuk fokus pada 1.000 HPK, pemerintah juga melakukan intervensi lewat program edukasi dan promosi, mulai dari siswi SMP hingga ibu hamil.
Diharapkan pada 2024, prevalensi kasus stunting di Indonesia bisa turun menjadi 14 persen.
Baca juga: Dokter sebut anak bawah 4 tahun dilarang konsumsi gula
Baca juga: Epilepsi dapat mengganggu perkembangan otak dan motorik kasar anak
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023