Pasalnya, ASEAN Taxonomy menerima pembiayaan transisi dari kategori Green (kegiatan ekonomi yang mendukung tujuan lingkungan taksonomi) dan Amber (memenuhi klasifikasi hijau tetapi dapat menyebabkan kerusakan pada tujuan lain meskipun sudah harus ada tindakan perbaikan).
"Hal tersebut merupakan yang pertama di dunia dan memberikan kejelasan akan klasifikasi serta cara mengukurnya," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Financing Transition in ASEAN di Kabupaten Badung, Bali, Kamis.
Ia mengungkapkan negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia, seluruhnya berkomitmen untuk mencapai target emisi nol bersih.
Dengan lanskap energi yang sangat kaya, baik dari energi fosil (minyak, gas, dan batubara) dan energi terbarukan (panas bumi, air, angin, dan matahari), komitmen Indonesia terus menguat.
Pemerintah Indonesia juga sudah memperkuat Kontribusi Determinan Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) dari 29 persen menjadi 32,1 persen jika menggunakan upaya dan sumber daya sendiri pada tahun 2060.
Kendati demikian, menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, hal yang paling berisiko dari mencapai target nol bersih, terutama melalui pensiun batu bara yakni kebutuhan akan pembiayaan yang besar.
"Banyak lembaga keuangan biasanya memperlakukan pembiayaan transisi dari batu bara sebagai pembiayaan kotor dan karena itulah mereka tidak bersedia membiayainya," tuturnya.
Maka dari itu, dirinya mengatakan pembiayaan berkelanjutan merupakan hal yang penting dalam memastikan transisi energi bersih berjalan secara terjangkau dan berkeadilan.
Baca juga: BI: Transisi iklim yang terkelola baik penting untuk mitigasi risiko
Baca juga: Menkeu: ASEAN butuh investasi 27 miliar dolar energi terbarukan
Baca juga: BI: Bank Sentral ASEAN berperan dukung transisi keuangan hijau
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023