Pelaksanaan shalat Hari Raya Idul Fitri 1414 Hijriah di halaman kampus Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat) itu dimulai pukul 07.00 Wita. Bertindak sebagai Imam Ketua Lembaga Pengkajian Pengembangan Pengamalan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LP3IK) Ummat, Muhammad Anugerah Arifin dan Khatib Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah NTB, Falahuddin.
Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah NTB yang juga menjadi khatib pelaksanaan shalat id, Falahuddin, mengatakan shalat Idul Fitri secara etimologis memiliki dua makna. Pertama, kembali berbuka. Ketika pada bulan puasa kemarin menahan diri dari nafsu fisik seperti makan, minum dan hubungan seksual maka pada hari ini diperbolehkan berbuka bahkan haram hukumnya bila masih berpuasa pada hari ini bagi yang meyakini bahwa satu Syawal.
Makna kedua Idul Fitri, kembali kepada kesucian yang menjadi watak dasar manusia. Di mana hal ini merupakan kenikmatan paling yang dirasakan oleh orang yang telah berpuasa. Oleh karena itu dalam konteks ini Idul Fitri menjadi momentum untuk menemukan kembali jati diri bagaikan bayi yang baru lahir terbebas dari segala dosa yang pernah dilakukan.
"Sebagai orang yang berpuasa kita ingin meraih dua kebahagiaan itu sekaligus," ujarnya.
Baca juga: Din Syamsuddin harap silaturahim tetap terjaga meski beda pendapat
Sementara terkait adanya perbedaan penentuan satu Syawal maupun shalat id, Falahuddin mengajak sesama umat Islam maupun masyarakat untuk tidak mempermasalahkannya. Justru, menurutnya adanya perbedaan tersebut menjadi semangat memperkokoh persatuan dan kesatuan antarumat Islam.
Sebab, dalam konteks persatuan berbangsa dan bernegara persatuan harus dimaknai bukan dalam arti penyeragaman melainkan dalam arti kebhinnekaan. Karena itu dalam toleransi tidak hanya dalam kata dan retorika tetapi harus menjadi praktis di lapangan.
"Toleransi tidak hanya antar pemeluk agama melainkan sesama agama yakni umat Islam. Kalau dalam praktek ritual harian saja ada varian-variannya ada perbedaan-perbedaan-nya, ada yang menggunakan kunut dan ada yang tidak kunut dan ada yang menggunakan usalli dan ada yang tidak, itu adalah bagian dari varian-varian dan perbedaan dalam internal ibadah sesama agama, apalagi shalat Idul Fitri yang semuanya tidak mungkin dielakkan perbedaan itu," terangnya.
Karena itu adanya perbedaan tersebut, menurut Falahuddin, masyarakat tidak perlu risih dalam perbedaan tersebut seperti pada penentuan awal bulan Syawal 1414 Hijriah.
"Untuk itu kami imbau kepada sesama umat Islam membangun kesepahaman, saling menghargai terhadap perbedaan mazhas dan cara pandang dalam beragama. Tidak boleh ada saling hujat menghujat apalagi saling mengkreditkan, saling menyalahkan yang akan mengkroposkan persatuan umat Islam itu sendiri," katanya.
Sementara Ketua Lembaga Pengkajian Pengembangan Pengamalan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (LP3IK) Ummat yang sekaligus menjadi imam, Muhammad Anugerah Arifin mengatakan secara internal sudah membangun komitmen dengan aparatur pemerintah dan keamanan untuk berkomitmen pelaksanaan shalat id sebisa mungkin tidak mengganggu ibadah umat Islam yang masih melaksanakan ibadah puasa termasuk non muslim yang beraktivitas di seputaran kampus Muhammadiyah Mataram.
"Kami harap apa yang sudah di bangun panitia dan pengurus Muhammadiyah bisa memberikan edukasi bahwa Muhammadiyah sudah menggunakan metode hisab bukan sekali ini saja berbeda dengan pemerintah. Namun kami secara internal sama sekali tidak ada prinsip menyalahkan yang lain. Kami berjalan dengan keyakinan bahwa hisab dengan metode hisab hakiki nujudul hilal adalah cara yang efektif untuk menentukan satu Syawal perhitungannya tepat terjadi pada tenggelam matahari kemarin sehingga kita melaksanakan Idul Fitri pada hari ini," katanya.
Baca juga: Idul Fitri tahun ini berikan makna bagi Muslimat
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023