Tim Hukum Universitas Udayana (Unud) Bali menghadirkan empat orang saksi ahli dalam lanjutan sidang praperadilan dugaan tindak pidana korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) yang melibatkan Rektor Unud Prof. I Nyoman Gde Antara.
Adapun saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang yang digelar sejak pukul 09.00 di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Kamis, adalah Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang (ahli hukum keuangan negara dari UI), Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn.(ahli hukum administrasi UGM , Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H. (Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia) dan Muhammad Adi Khairul Anshary, ST.,MT dari Universita Siliwangi, yang merupakan dosen sekaligus Kepala UPT Teknologi Informasi dan Komunikasi, serta Dewa Gede Palguna, dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
Setelah eksepsi Termohon Kejati Bali ditolak Hakim, sidang pun dilanjutkan dengan agenda pembuktian surat dari Pemohon (Rektor Unud Prof Gde Antara) maupun dari Termohon (Kejati Bali).
Salah satu saksi ahli yang dihadirkan dalam pembuktian di Pengadilan Negeri Denpasar adalah Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang yang merupakan ahli hukum keuangan negara dari Universitas Indonesia.
Dalam kesaksiannya, ahli menyoroti soal lembaga yang berwenang untuk melakukan audit dan menentukan kerugian negara ataupun kerugian perekonomian negara.
"Hanya BPK dalam rangka menilai ada tidaknya kerugian negara akibat perbuatan (melawan hukum atau kelalaian. Berdasarkan pasal 10 ayat 1 UU BPK kalau BPKP hanya berfungsi dalam menilai kerugian negara tetapi dalam rangka pencegahan, bukan dalam rangka penindakan, dan di luar itu tidak bisa karena tidak memiliki standar dan juga tidak punya kewenangan di dalam UU," kata Simatupang.
Karena itu, dalam keterangan di muka persidangan dia menegaskan bahwa seturut pengetahuannya, kejaksaan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perhitungan kerugian negara.
Namun, dirinya mengaku tidak mengetahui apakah dalam Undang-Undang Kejaksaan, Jaksa memiliki kewenangan untuk melakukan audit kerugian negara ataupun kerugian perekonomian negara.
"Saya tidak tahu di UU Kejaksaan apakah ada yang memberikan kewengangan untuk menilai menghitung kerugian negara yang saya tahu hanya BPK dalam pasal 10 ayat 1 UU BPK dan BPKP berdasarkan Perpres 192 tahun 2014 dalam rangka pencegahan saja," kata dia.
Dengan demikian, kata dia, dua lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang berwenang menghitung kerugian negara.
Sementara itu, saksi ahli Muhammad Adi Khairul Anshary, ST.,MT., dari Universitas Siliwangi menjelaskan secara umum terkait jalur penerimaan mahasiswa baru dan juga termasuk sumbangan pengembangan institusi.
Dia menjelaskan secara prosedural, setiap calon mahasiswa yang mendaftar akan membuat akun masing-masing secara daring.
“Pembayarannya melalui sistem, dan setelah pembayaran SPI maka ia akan mendapatkan NIM. Pembayaran SPI ini dilakukan pada saat registrasi. Sementara, terkait dana SPI, semuanya masuk ke satu rekening dan tidak bisa diambil sembarangan,” katanya.
Setelah rehat beberapa waktu, giliran saksi ahli Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H., Ahli Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia memberikan keterangan dalam sidang yang juga dihadiri oleh mahasiswa Universitas Udayana Bali.
Ali menjelaskan dari segi hukum pidana penetapan tersangka wajib hukumnya penetapan didahului dengan penghitungan kerugian negara oleh lembaga berwenang yang sifatnya nyata dan berdasarkan data faktual. Bila suatu perkara memang belum memiliki perhitungan kerugian negara, yang hanya dilakukan oleh penyidik, maka penetapan tersangka ini menjadi tidak sah.
Dia mengatakan penghitungan kerugian keuangan negara memang seharusnya dilakukan oleh lembaga yang berwenang. Penyidik dalam hal ini, tidak bisa menghitung kerugian tersebut yang nantinya menentukan kualitas pembuktian.
“Kalau memang faktanya tidak ada penghitungan kerugian dari lembaga berwenang, artinya penetapan tersangka nya tidak sah. Sebetulnya keputusan MK itu penyidik boleh menghitung, namun harus berkoordinasi dengan lembaga berwenang. Harusnya ada permohonan resmi dari penyidik untuk penghitungan kepada lembaga. Kemudian hasilnya itu akan jadi laporan bukti surat, bukan menghitung sendiri apalagi nilainya miliaran,” kata dia.
Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., sebagai ahli hukum administrasi UGM Yogyakarta fokus pada penghitungan kerugian negara. Menurut dia, kerugian keuangan negara harus dinyatakan secara pasti. Karena itu dibuktikan berdasarkan audit oleh lembaga yang berwenang yakni BPK.
"Menurut pemahaman saya, kewenangan mengaudit itu ada di BPK, bukan penyidik sendiri. Dengan demikian pembuktian kalau itu dilakukan penyidik sendiri tidak sah,” katanya.
Yang terakhir, saksi Dewa Gede Palguna, dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana memberikan kesaksian bahwa sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016 kata 'dapat merugikan keuangan negara' itu tidak bertentangan dengan konstitusi.
Menurut dia, berdasarkan konstitusi, kerugian negara itu harus pasti jumlahnya dan itu harus dilakukan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk oleh instansi wewenang.
“Audit tidak boleh dilakukan sendiri di luar BPK, BPKP dan lembaga berwenang lain,” kata dia.
Pewarta: Rolandus Nampu
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2023