ChatGPT dan dilema kecerdasan buatan

28 April 2023 14:32 WIB
ChatGPT dan dilema kecerdasan buatan
Foto arsip: Logo OpenAI dan chatbot ChatGPT sebagai foto ilustrasi yang diambil pada 9 Februari 2023. (REUTERS/FLORENCE LO)
Butuh waktu agak lama untuk mengetahui hasil perkalian 1.395 dan 7.556 jika dihitung secara manual, tetapi jika menggunakan kalkulator tangan, hanya butuh sepersekian detik untuk mengetahuinya.

Kini, mesin jauh lebih cerdas dari sekadar mengalkulasi angka, karena bisa juga memahami dan memproses bahasa manusia sampai kemudian melahirkan istilah "kecerdasan buatan" atau artificial intelligence (AI).

Menurut definisi hukum kecerdasan buatan di AS sejak 2020, AI adalah "sistem berbasis mesin yang bisa membuat prediksi, rekomendasi, atau keputusan yang mempengaruhi lingkungan nyata atau virtual, berdasarkan tujuan yang ditentukan manusia."

AI sebenarnya sudah dikenal sejak 1956 ketika Dartmouth College di Amerika Serikat menggelar simposium yang memprediksi mesin bisa secerdas manusia, meski waktu itu istilah AI belum dikenal.

Puluhan tahun setelah simposium itu, manakala komputerisasi, digitalisasi dan internet merambah semua aspek kehidupan, AI kian luas digunakan, terutama sejak dasawarsa pertama abad ke-21.

Orang semakin mencurahkan perhatian kepada AI setelah pembelajaran mesin berhasil diterapkan pada banyak aspek, dari dunia pendidikan sampai industri, berkat metode-metode dan aplikasi-aplikasi baru, serta kumpulan data besar yang terus membesar yang disebut "big data".

AI jelas memudahkan manusia melakukan apa saja dan membuat proses produksi serta kerja menjadi amat efisien dengan hasil konsisten bagus. Namun di balik semua ini, manusia perlahan dipinggirkan mesin.

Itu semakin terkuat setelah OpenAI yang didukung Microsoft, meluncurkan bot percakapan (chatbot) ChatGPT pada November 2022.

Chatbot adalah program komputer yang menyimulasikan percakapan manusia melalui perintah suara, obrolan teks, atau ketiganya.

Hanya dalam satu pekan pertama sejak diluncurkan, ChatGPT yang interaktif dan menjawab dengan tepat hampir semua hal yang ditanyakan manusia, sudah digunakan oleh satu juta orang.

Popularitasnya yang meroket mendorong pesaing-pesaing Microsfot mengeluarkan chatbotnya sendiri.

Namun, chatbot seperti ChatGPT juga berpotensi merugikan manusia, semata karena kecepatannya dalam menyempurnakan diri membuat peran manusia perlahan tersingkirkan.

Kecepatannya dalam berkembang dan kemampuannya untuk menjadi semakin cerdas, membuat orang mengkhawatirkan teknologi ini berkembang terlalu cepat sehingga tak bisa lagi dikendalikan.


Perlu pedoman

Dalam konteks ChatGPT, model baru LLMs (large language models) yang mentenagai chatbot-chatbot semacam ChatGPT, membuat penciptanya sendiri keheranan karena tak menyangka bakal berkembang secepat dan sejauh ini.

Itu baru generasi pertama, belum generasi-generasi setelahnya yang pastinya semakin disempurnakan atau menyempurnakan diri.

LLMs adalah algoritma pembelajaran mendalam (deep learning) yang bisa mengenali, meringkas, menerjemahkan, memprediksi, dan menghasilkan teks dan konten lain berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari big data.

Model ini tak hanya membuat AI mengenali bahasa manusia, tapi juga menulis kode piranti lunak. Inilah salah satu aspek yang dikhawatirkan banyak kalangan, terutama di negara-negara Barat, termasuk Italia sempat melarang ChatGPT.

Kemampuan menulis kode piranti lunak adalah aspek yang membuat mesin bisa menghasilkan mesin lain yang lebih cerdas yang memiliki kemampuan bekerja yang tak akan pernah disamai manusia.

Di satu sisi, ini meningkatkan efisiensi, termasuk dalam proses pembuatan kebijakan di berbagai level.

Namun, teknologi selalu berkembang lebih cepat dari kemampuan manusia dalam menyadari kecepatan perkembangan teknologi. Pada tahap-tahap tertentu, ini malah membuat manusia tak bisa lagi mengendalikan teknologi.

Jika ini yang terjadi, maka apa yang digambarkan dalam film-film fiksi ilmiah semacam "Terminator", "iRobot", dan banyak lagi, mungkin bukan lagi fiksi pada suatu saat nanti.

Faktanya, sudah banyak profesi yang punah karena mesin.

LLMs seperti Google Translate misalnya, telah menggugat profesi penerjemah, selain membuat bahasa yang diajarkan di kelas-kelas menjadi ditentukan oleh siapa yang paling banyak menggunakan, bukan dari kebenaran berbahasa seperti diajarkan guru atau ahli bahasa.

Algoritma yang sifatnya memberikan rekomendasi kata atau istilah berdasarkan banyak informasi yang tersimpan dalam big data sehingga bukan didasarkan dari makna dan fungsi yang benar, membuat kebenaran itu sendiri ditentukan oleh siapa yang paling banyak menggunakan. Ini aspek lain yang membuat informasi menjadi bias dan manipulatif.

Aspek itu, dan kecenderungan manusia tersisih dari pasar tenaga kerja dan privasi pribadi yang tergerogoti akibat AI, tengah disorot sejumlah kalangan di dunia, terutama beberapa pemerintahan Barat.

Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Singapura pun menerbitkan pedoman yang mengharuskan AI transparan, adil dan akuntabel.

Uni Eropa menerapkan aturan dampak AI terhadap privasi dan data pribadi, sedangkan China, Kanada, dan Jepang membuat pedoman etika AI dan keharusan bahwa AI digunakan serta dikembangkan secara bertanggung jawab.

Namun demikian, masyarakat global yang umumnya hanya peduli menggunakan dan memanfaatkan AI, tak berusaha sekritis itu. Pun dengan kalangan yang lebih peduli keuntungan ekonomis dari AI yang memang memiliki kemampuannya dalam menciptakan efisiensi besar-besaran dalam proses bisnis.


Mesti direm

Sebenarnya bukan negara-negara itu saja yang terusik oleh perkembangan cepat AI. Tokoh-tokoh masyarakat global pun begitu.

Khawatir perkembangan AI yang semakin cepat sehingga mungkin tak bisa lagi dikendalikan dan ditambah aktor-aktor besar dalam bisnis teknologi informasi yang berlomba merangkul lebih karena motif laba, sejumlah kalangan mendesak perkembangan pesat AI agar direm, setidaknya selama enam bulan.

Pada 22 Maret 2023, tokoh-tokoh ini merilis surat terbuka yang ditandatangani 27.567 orang, termasuk CEO Telsa Elon Musk, CEO Apple Steve Woziak, dan profesor-profesor berbagai perguruan tinggi ternama di AS dan dunia.

Mereka bertanya, "Haruskah kita mengotomatiskan semua pekerjaan? Haruskah kita mengembangkan pikiran nonmanusia yang pada akhirnya melebihi dan menggantikan kita? Haruskah kita mengambil risiko kehilangan kendali atas peradaban kita?"

Menurut mereka, AI yang semakin canggih melukiskan perubahan besar dalam sejarah kehidupan di Bumi yang semestinya direncanakan dan dikelola dengan baik

Kenyataannya, perencanaan dan manajemen AI itu tak ada, justru ketika laboratorium-laboratorium AI berlomba mengembangkan dan menerapkan kecerdasan digital yang kian hebat sampai tak bisa dipahami, diprediksi atau dikendalikan oleh siapa pun, bahkan oleh pembuatnya sendiri.

Intinya, ada kekhawatiran bahwa teknologi yang kian cerdas tak saja perlahan menyisihkan umat manusia, tapi juga membuat manusia perlahan tak bisa mengendalikan mesin yang ironisnya diciptakan oleh manusia.

Mungkin kekhawatiran itu didasari oleh skenario-skenario kehidupan masa depan seperti digambarkan dalam film-film seperti "Terminator" di mana mesin menciptakan mesin untuk menyisihkan peradaban dan umat manusia. Namun, jika melihat sudah begitu banyak profesi kerja yang disingkirkan oleh mesin, ketakutan mereka cukup beralasan.

AI memang menawarkan peluang-peluang luar biasa positif kepada umat manusia, tetapi AI juga menciptakan risiko-risiko baru bagi umat manusia.

Kedua hal ini harus dijembatani dengan aturan atau pedoman. Bukan untuk menolak AI yang sudah menjadi kebutuhan zaman, tapi demi membuat semua hal yang positif tidak berbalik merugikan umat manusia dan menghancurkan peradaban.

 

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023