"Lebih dari 50 persen mengonsumsi obat tradisional atau herbal," ujarnya dalam pernyataan yang dikutip di Jakarta, Selasa.
Melalui hasil riset klaster sosial budaya yang dilakukan pada 2019-2020, Mannake menjelaskan proyek riset itu dilakukan di empat kampung, yaitu Cikini di Jakarta Pusat, Gedong Pompa di Jakarta Utara, Markisa di Kota Tangerang, dan Cimone di Tangerang Selatan.
Melalui hasil riset klaster sosial budaya yang dilakukan pada 2019-2020, Mannake menjelaskan proyek riset itu dilakukan di empat kampung, yaitu Cikini di Jakarta Pusat, Gedong Pompa di Jakarta Utara, Markisa di Kota Tangerang, dan Cimone di Tangerang Selatan.
Riset itu bertujuan mengungkap bagaimana pengobatan tradisional pengobatan tradisional dipraktikkan dalam hubungannya dengan kehadiran pengobatan modern yang dibawa oleh urbanisasi.
Selain itu juga menemukan sejauh mana pewarisan tradisi pengobatan tradisional berperan dalam kelangsungan praktik pengobatan tradisional, khususnya di kawasan kampung urban dan semi urban.
Baca juga: BPJS Kesehatan minta masyarakat kritis sikapi pengobatan alternatif
Baca juga: Pandangan akademisi kedokteran UI terkait pengobatan alternatif
"Dari hasil riset ini kami juga mencari tahu apakah praktik ini merupakan sebentuk resistensi terhadap modernitas ataukah sejenis resistensi terhadap kerentanan, di mana keduanya merupakan akibat dari proses ekspansi urban," ungkapnya.
Keempat lokasi riset itu terdapat beberapa tantangan terkait kondisi kesehatan masyarakat, di antaranya pergeseran dari konsumsi makanan organik ke makanan olahan dan non-organik, kualitas air yang tercemar zat besi, mangan, dan klorida, lalu prevalensi tinggi metabolisme akibat kekurangan vitamin D.
Di sisi lain, mengenai permasalahan sosial, masyarakat urban memiliki berbagai tantangan yang perlu dihadapi mulai dari perubahan pola pikir yang melemahkan ikatan sosial, tantangan pola hidup sehat, dan masalah mobilitas akibat besarnya arus migrasi urban.
Manneke menjelaskan bahwa semakin jauh lokasi kampung dari pusat kota, maka semakin kecil dampak modernitas pada komunitas kampung, seperti yang terjadi pada Kampung Markisa dan Kampung Cimone.
Keberadaan ruang hijau di kedua kampung itu bisa menjadi faktor tingginya kecenderungan penggunaan obat tradisional. Selain itu, tidak ada penolakan kuat terhadap obat modern, meskipun persentase lebih besar penggunaan obat herbal di lokasi yang jauh dari pusat kota.
"Lokasi tersebut berada di margin kerentanan, sehingga memakai obat tradisional adalah cara menghadapi tantangan berbagai macam kekurangan yang pemenuhannya tidak berada dalam kendali mereka," jelas Manneke.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa resistensi tidak berarti penolakan karena keseimbangan antara konsumsi pengobatan modern dan tradisional yang diproduksi secara swadaya adalah cara untuk melestarikan tradisi, sekaligus menerima modernitas dalam hal ini pengobatan modern.
Jal ini juga bisa berarti menjaga sedikit kendali atas hidup mereka sendiri, sambil menerima fakta keterbatasan mereka dalam menghadapi ekspansi urban.
"Masyarakat urban memiliki kesadaran akan kekurangannya, jadi jika susah untuk dapat obat modern maka akan memutar akal dengan menanam sendiri tanaman pengobatan herbal untuk mengatasi masalah kesehatan," terang Mannake.
"Namun, ketika mereka mampu untuk mengakses obat modern, mereka juga akan mengonsumsinya tanpa menyatakan penolakan," pungkasnya.
Baca juga: Kemenkes wajibkan penyedia jasa pengobatan tradisional miliki STPT
Baca juga: Erick Thohir akan kembangkan pengobatan tradisional Bali di KEK Sanur
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023