Tradisi warga Dusun Gopaan, Desa Genito, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, digelar dengan mendasarkan pada kalender Jawa, bertepatan dengan hari pasaran Pahing, setelah pertengahan bulan Sapar. Tahun ini, tradisi Saparan mereka jatuh pada Selasa (8/1).
Namun, berbagai persiapan telah dimulai sejak hari pertama bulan Sura, sekitar sebulan lalu, melalui pembentukan panitia dusun. Selama 19 hari terakhir sebelum hari tradisi Saparan, warga dusun setempat yang berjumlah 102 kepala keluarga atau 443 jiwa itu sibuk bergotong-royong, antara lain menghias dusun dan membersihkan lingkungan Sendang Piwakan yang menjadi tempat utama prosesi Saparan.
Mereka juga kerja bakti menyingkirkan sedimen di saluran irigasi, sampah di pekarangan rumah dan jalan-jalan dusun. Pada tradisi Saparan tahun ini, mereka menyiapkan empat panggung pementasan kesenian tradisional di beberapa lokasi di dusun yang meliputi empat rukun warga itu.
Sejumlah grup kesenian yang pentas tak hanya dari dusun setempat dengan kesenian utamanya, kuda lumping, dan seniman rakyat yang tergabung dalam grup "Iromo Turonggo", tetapi juga grup lain dari dusun-dusun tetangga.
Beberapa pentas kesenian tradisional dari dusun-dusun tetangga, antara lain kuda lumping (Dusun Ngaglik dan Dobrasan), warok (Kwangsan), kubrosiswo (Plalar), soreng (Desa Kalijoso).
Bahkan, mereka juga menggelar pentas wayang kulit sehari semalam dengan lakon "Anggodo Duto" dengan mendatangkan dalang Ki Slamet Antir, dari Tanggul Anom, Kabupaten Temanggung, kenduri dan tirakatan warga, serta mujahadah dengan meminta kehadiran tiga ulama, masing-masing Kiai Mahfud dan Kiai Ashadi (keduanya dari Desa Genito), serta K.H. Abdul Basyir (Kabupaten Purworejo).
Puluhan orang berasal dari berbagai tempat menggelar berbagai dagangan seperti makanan, minuman, mainan anak, pakaian, hiasan dan alat-alat rumah tangga, di sepanjang tepi kanan dan kiri jalan Dusun Gopakan. Suasana semarak terkesan membalut dusun dengan udara kawasan gunung yang sejuk itu.
Ratusan warga menjalani prosesi di petilasan pepunden dusun yang mereka sebut Kiai Gopak dan Nyai Gopak di Sendang Piwakan. Tempat itu berupa kolam alami yang cukup luas, tak jauh dari Dusun Gopakan.
Di petilasan pepunden dusun yang berupa dua batu di bawah cungkup dari kayu beratap genting itu, mereka berdoa. Seniman dari komunitas Merapi Rumah Seni, Agus Suyitno performa ritual yang disebut "manten tembakau" di dalam kolam.
Mereka juga mengusung gunungan setinggi sekitar dua meter yang berupa tatanan hasil bumi seperti cabai, buncis, paria, petai, wortel, kentang, kacang panjang, gambas, mentimun, pisang, salak, apel, padi, dan jagung.
Di gunungan hasil bumi yang ditandu oleh empat warga berpakaian adat Jawa itu, juga tertancap puluhan batang "bendera uang" yang ditata dari uang kertas pecahan Rp1.000. Selain itu, mereka juga mengusung dengan tandu berupa tumpeng berisi nasi di dalam bakul yang dihias dengan telur, kerupuk, irisan cabai, dan tomat hijau.
Sejumlah warga lainnya dalam prosesi di Sendang Piwakan yang dipimpin kepala dusun Sugitno (48), membawa rigen (alat dari anyaman bambu untuk tempat menjemur tembakau), perajang tembakau, dan pohon tembakau.
Penari kuda lumping putra dan putri dari dusun setempat dan satu grup drum band dari Desa Banaran, Kecamatan Tembarak, Kabupaten Temanggung, juga turut memeriahkan prosesi ritual tradisi Saparan Merti Dusun dengan pentas di salah satu tempat, di sekitar kolam tersebut.
Berdasarkan cerita dari nenek moyang mereka secara turun temurun, Sendang Piwakan terbentuk karena sepasang kerbau "gopakan" atau berguling-guling saat bermain lumpur, hingga tempat itu mengeluarkan air yang melimpah, dan kemudian menjadi kolam atau sendang. Warga menyebut kerbau itu sebagai Kiai dan Nyai Gopak, serta dusun mereka bernama Gopaan.
Air dari Sendang Piwakan, hingga saat ini disalurkan dengan pipa ke dusun yang berjarak sekitar 200 meter untuk keperluan rumah tangga, sedangkan penyaluran melalui sarana irigasi untuk keperluan pertanian mereka.
Saat tradisi Saparan, mereka juga memandikan puluhan kuda lumpingnya di kolam itu. Tatkala warga hendak menjalani hajatan, juga datang ke petilasan itu untuk ziarah dan berdoa.
Kehidupan sehari-hari masyarakat dusun setempat saat ini bukan sebagai petani tembakau secara murni, tetapi mereka adalah petani sayuran dan pedagang sayuran. Namun, setahun sekali, bertepatan dengan musim panen tembakau di berbagai daerah (sekitar April hingga Juli), mereka memanfaatkan peluang ekonomi itu dengan menjadi perajang daun tembakau.
Seorang pemuka warga setempat, Sumpeno (51), dalam bahasa Jawa mengatakan kemakmuran ekonomi masyarakat setempat diukur dari hasil penjualan olahan tembakau, apakah mendapatkan harga yang tinggi atau rendah dari pabrikan atau gudang tembakau di Temanggung.
Setiap musim panen tembakau, mereka membeli daun tembakau panenan petani dari berbagai tempat, seperti Kecamatan Kaliangkrik, Windusari, Ngablak (Kabupaten Magelang), dan Kabupaten Boyolali. Mereka kemudian menjadi perajang dan penjemur tembakau untuk selanjutnya disetor kepada pengusaha gudang tembakau di Temanggung.
"Wah, kalau musim tembakau tahun kemarin, memang kami merasakan `sepi` karena harga jatuh, pembayaran dari gudang juga tersendat-sendat. Pengaruh ekonomi dari penjualan tembakau sampai sekarang masih kami rasakan. Mudah-mudahan tahun ini lebih baik," katanya.
Ia membandingkan tentang harga pembelian daun tembakau dan penjualan tembakau rajangan ke gudang. Harga pembelian daun tembakau pada 2011 antara Rp8.500-Rp10.000 per kilogram, sedangkan pada 2012 turun menjadi antara Rp4.500-Rp5.000.
Harga penjualan tembakau yang telah diolah warga setempat antara lain melalui perajangan dan pengeringan pada 2011 antara Rp85.000-Rp100.000 per kilogram, sedangkan pada 2012 turun menjadi antara Rp12.500-Rp50.000.
"`Jatuh mon mbanget`, (Harga sangat jatuh, red.), pembayaran dari gudang juga sempat `sendhet` (Tidak lancar, red.). Makanya kami menyebut `sepi`," katanya didampingi Kadus Sugitno dan seorang tokoh masyarakat setempat lainnya, Suniyo (60).
Oleh karena itu, bertepatan dengan hari Saparan, warga setempat ingin melepaskan diri dari situasi kehidupan ekonomi yang "sepi", sebagai pengaruh jatuhnya penjualan tembakau mereka, dengan mengemas pelaksanaan tradisi leluhur secara lebih meriah ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
"`Menawi sepi niku lak nggih malah kedah diramekke`. (Kalau situasi sepi, malah harus dibuat meriah, red.). Ini permintaan warga, supaya kami menguatkan semangat dan kekompakan menjalani jalan yang benar," katanya.
Sugitno mengatakan untuk memeriahkan tradisi Saparan tahun ini, setiap keluarga minimal mengeluarkan biaya sekitar Rp1.500.000 untuk berbagai keperluan. Pihak panitia juga telah menghitung biaya menjamu makan para seniman berbagai grup dari dusun tetangga yang pentas di Dusun Gopaan, dengan jumlah ditotal sedikitnyaRp26.000.000.
"Tidak ada yang utang. Uang dari setiap warga itu dari hasil panen dan berdagang sayuran di pasar. Kami juga meminta bantuan sponsor dari beberapa pengusaha," katanya.
Saparan mereka yang terkesan meriah itu, antara lain juga terlihat dari 18 mobil pikup dan satu truk yang membawa warga berkonvoi dari tengah dusun hingga Sendang Piwakan, melewati jalan-jalan beraspal mengelilingi Desa Genito sejauh sekitar tiga kilometer. Desa itu terdiri atas sembilan dusun.
Bunyi tabuhan pengiring tarian tradisional terdengar bertalu-talu selama konvoi. Warga di berbagai dusun yang dilewati rombongan masyarakat Gopaan menyaksikan konvoi dari depan rumah masing-masing.
Sugitno yang mengenakan pakaian adat model pejabat Jawa, dengan diapit dua orang berpakaian keprajuritan Jawa yang masing-masing membawa properti tombak, memimpin rombongan prosesi memasuki kompleks Sendang Piwakan.
Dengan didampingi seorang pemuka warga lainnya, Rukun Budi Santosa (48), Sugitno masuk ke cungkup petilasan Kiai dan Nyai Gopak, setelah sebelumnya mereka berjalan di atas jembatan bambu sepanjang sekitar 20 meter beralaskan kain putih dan bertabur bunga mawar, yang membelah kolam itu.
Sejumlah orang meletakkan sesaji, antara lain tiga cangkir porselin berisi minuman kopi, teh kental, dan air putih, bunga mawar warna merah dan putih, serta berbagai hasil bumi di petilasan pepunden itu.
Di dalam cungkup petilasan Kiai dan Nyai Gopak itu, Sugitno berjongkok untuk membakar kemenyan. Setelah terasa bau harum kemenyan menebar di sekeliling tempat tersebut, Rukun Budi Santosa memimpin warga untuk berdoa dengan menggunakan bahasa Jawa.
"`Wekdal punika, warga Dusun Gopaan sami nindakaken bekti, mugi-mugi tansah manggih kawilujengan, katentreman, keamanan. Kalian mugi-mugi anggenipun nyambut damel menapa kemawon, dipun paringana kawilujengan, kathah rejeki saksedya pinuwunipun`. (Saat ini, warga Gopaan melaksanakan tradisi dan berdoa agar beroleh keselamatan, ketenteraman, dan keamanan. Semoga dalam bekerja mendapatkan keselamatan dan rezeki yang cukup, red.)," demikian doa tersebut. (M029/KWR)
Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013