pasien thalasemia akan membutuhkan transfusi darah seumur hidup
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut persediaan darah untuk penderita thalasemia melakukan transfusi darah saat ini sedang mengalami keterbatasan.
“Pasien thalasemia akan membutuhkan transfusi darah seumur hidup. Kalau dilihat, satu kantung transfusi bisa masuk sekitar 250 miligram (zat) besi, tapi di lain pihak persediaan ini terbatas,” kata Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI Teni Tjitra Sari dalam Konferensi Pers Hari Thalasemia Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Teni menuturkan saat ini tata laksana yang diberikan kepada pasien thalasemia masih mengalami sejumlah masalah. Dimana salah satunya adalah persediaan darah yang terbatas terutama pada saat hari libur atau hari besar, seperti ketika banyak pendonor menjalankan ibadah puasa dan mengikuti kegiatan mudik beberapa waktu lalu.
Padahal kebutuhan pasien di pusat thalasemia mencapai 4.383.309 mililiter darah merah atau setara dengan 22 ribu kantong per tahun.
Baca juga: IDAI sebut penyakit thalasemia pengaruhi psikososial anak
Baca juga: IDAI: Kurangnya nakes kendala tangani talasemia di Indonesia Timur
Baca juga: Pentingnya periksa penyakit keturunan sebelum menikah
Selain terbatas oleh jumlah darah yang disumbangkan pendonor, keterbatasan juga disebabkan karena BPJS Kesehatan membatasi jumlah kantong transfusi darah yang boleh diberikan kepada tiap pasien thalasemia maksimal hanya dua kantong per bulan.
“Jadi karena kebutuhan darah menetap, tapi jumlah pendonornya sedikit, maka hasilnya mereka (pasien) tidak dapat transfusi darah dengan baik,” katanya.
Teni menyampaikan masalah terkait darah tidak hanya terkait dengan ketersediaan, melainkan juga kualitas darah yang diterima pasien. Meski sudah diketahui bahwa pasien thalasemia sangat rentan terkena infeksi, namun belum semua daerah bisa memberlakukan skrining NAT dari darah yang akan diberikan.
“Sehingga kemungkinan tertular infeksi meningkat. Tidak semua daerah di Indonesia bisa menyediakan darah yang jumlah leukositnya rendah juga, sehingga kemungkinan terjadinya reaksi transfusi masih tinggi,” ujarnya.
Baca juga: Kemenkes: Skrining kesehatan sebelum menikah cegah thalasemia pada anak
Baca juga: Kemenkes perkirakan 2.500 bayi lahir dengan talasemia per tahun
Baca juga: DPRD Bogor janji fasilitasi para santri talasemia di Ponpes Albarokah
Masalah dalam tata laksana thalasemia yang ia sebutkan selanjutnya adalah anggaran dana yang terbatas. Di era BPJS Kesehatan, Teni mengatakan ada sejumlah obat yang dibatasi per pasien. Persediaan di banyak rumah sakit pun tidak tersedia.
“Mereka membutuhkan sejumlah obat seperti Deferoxamine, Deferasirox dan Deferiprone untuk menurunkan kadar besi dalam tubuhnya. Karena bukan cuma pucat atau kadar besinya turun, tadi memang darahnya tidak terbentuk dengan baik tapi pada akhirnya kelebihan zat besi yang jadi masalah,” ucapnya.
Untungnya, kata Teni, untuk masalah obat pemerintah dengan bantuan pihak terkait sudah bisa memproduksi obat thalasemia buatan dalam negeri sehingga bisa menurunkan dana pembelian obat impor.
Sebab salah satu penyebab kematian pada thalasemia adalah penyakit jantung. Tumpukan besi banyak menumpuk di jantung sehingga menyebabkan kematian pada pasien thalasemia, oleh karena pemerintah terus membantu menyediakan obat obatan untuk mengeluarkan zat besi ini.
“Terkadang karena besinya sangat tinggi, tidak bisa hanya mengandalkan satu jenis obat tapi butuh kombinasi. Kembali lagi itu akan dibatasi oleh dana,” katanya.
Terakhir, upaya lain yang digencarkan pemerintah selain edukasi adalah melakukan skrining thalasemia dalam beberapa tahun terakhir kepada keluarga inti pasien, sebagai langkah pencegahan agar kebutuhan berobat tidak semakin bertambah.
Baca juga: IDAI sebut pasien thalasemia saat ini didominasi usia remaja
Baca juga: IDAI: 2.500 bayi yang lahir di Indonesia berpotensi terkena thalasemia
Baca juga: Penderita Talasemia Jabar Akan Mencapai 5000 Jiwa
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023