• Beranda
  • Berita
  • Kerusakan hutan paling parah terjadi zaman reformasi

Kerusakan hutan paling parah terjadi zaman reformasi

10 Januari 2013 07:45 WIB
Kerusakan hutan paling parah terjadi zaman reformasi
Foto udara, kawasan hutan yang telah menjadi areal perkebunan. (FOTO ANTARA/Irwansyah Putra) ()

Pada zaman reformasi dari 1997 hingga 2000 merupakan puncak kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,83 juta hektare.

Padang Aro, Sumbar (ANTARA News) - Kepala Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Seksi Pengelolaan Taman Nasional (STPN) Wilayah IV Solok Selatan, Sumatera Barat M Zainudin mengatakan kerusakan hutan paling parah terjadi pada zaman reformasi.

"Pada zaman reformasi dari 1997 hingga 2000 merupakan puncak kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,83 juta hektare," katanya di Padang Aro, Kamis.

Berdasarkan data pada rentang tahun 1982-1990 kerusakan hutan di Indonesia sebanyak 0,9 juta hektare, 1990-1997 meningkat jadi 1,8 juta hektare. Sedangkan pada zaman reformasi dari 1997-2000 mencapai 2,83 juta hektare dan tahun 2000-2005 turun menjadi 1,08 juta hektare.

Ia menyebutkan, kemampuan pemerintah untuk rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) hanya 500 ribu-700 ribu hektare per tahun. Sedangkan laju deforestasi atau kerusakan mencapai 1,08 juta hektare sehingga luas lahan yang rusak dengan laju rehabilitasi tidak seimbang.

Berdasarkan data tahun 2006 menunjukkan luas lahan kritis di Indonesia mencapai 30,196 juta hektare. Dan jika ada kawasan hutan yang masih terjaga itu hanya berada di kawasan konservasi.

Karena hutan di kawasan konservasi masih terjaga, maka dijadikan warisan Asean atau Asean Heritage Park (AHP) dan dunia atau World Heritage Site (WHS).

Ia menjelaskan, alasan TNKS dijadikan warisan dunia karena bentuk-bentuk alam (fisk dan biologi) mempunyai nilai yang menonjol secara universal (estetis atau ilmu pengetahuan).

Selain itu jelasnya, juga formasi geologis dan fisiografi telah mempunyai batas yang jelas, habitat dari satwa dan tumbuhan yang terancam dengan nilai menonjol secara universal (ilmu pengetahuan atau konservasi).

Yang tidak kalah penting kata dia, karena habitat dan area alami mempunyai nilai menonjol secara universal atau keindahan alamnya.

TNKS kata dia, diakui sebagai milik dunia dan kelestariannya juga dimonitor oleh masyarakat dunia.

"Untuk itu pemerintah maupun Pemkab di daerah harus melindungi, mengamankan dan melestarikan TNKS," katanya.
(ANTARA)


Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013