• Beranda
  • Berita
  • Desakan revisi PKPU 10/2023 demi terpenuhinya keterwakilan perempuan

Desakan revisi PKPU 10/2023 demi terpenuhinya keterwakilan perempuan

9 Mei 2023 19:35 WIB
Desakan revisi PKPU 10/2023 demi terpenuhinya keterwakilan perempuan
Sejumlah pengunjuk rasa dari Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuani membentangkan spanduk saat berunjuk rasa di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Senin (8/4/2023). Mereka meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan pada 17 April 2023. ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.

sebanyak 38 dari 84 daerah pemilihan (dapil) akan terdampak oleh peraturan tersebut

Merendahkan standar keterwakilan akibat sulitnya partai politik memenuhi kuota minimal pencalonan anggota legislatif perempuan bukanlah sebuah solusi. Langkah tersebut justru melenceng dari semangat keterwakilan perempuan.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka ketika mengkritik Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023, khususnya Pasal 8 ayat (2).

Pasal Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 menyatakan, "Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil (daerah pemilihan) menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) kurang dari 50 (lima puluh), maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas."

Mike menyatakan meskipun pembulatan ke bawah ketika dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 sesuai dengan standar penghitungan matematika, hal yang luput dari perhatian para penyusun PKPU adalah esensi dari keterwakilan perempuan.

Yang seharusnya menjadi acuan bagi KPU, tutur Mike, adalah kewajiban partai politik dalam memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan dalam mencalonkan anggota legislatif.

Penetapan kuota perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, yakni paling sedikit 30 persen, bernapaskan semangat keterwakilan perempuan di parlemen. Keterwakilan perempuan penting untuk meramu berbagai kebijakan tanpa meninggalkan perspektif gender sehingga menghasilkan produk hukum yang inklusif.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menggarisbawahi frasa ‘paling sedikit 30 persen’ yang tertuang dalam Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa, menjelaskan frasa tersebut dengan tegas menunjukkan keterwakilan perempuan tidak boleh di bawah 30 persen. Oleh karena itu, Ninis berpandangan pembulatan ke bawah yang termaktub dalam Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 bertentangan dengan Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.


Dampak PKPU 10/2023

Ninis mengungkapkan pihaknya telah melakukan simulasi pembulatan ke bawah dengan perhitungan kursi DPR. Hasilnya, sebanyak 38 dari 84 daerah pemilihan (dapil) akan terdampak oleh peraturan tersebut, atau setara dengan 45 persen dari total dapil.

Daerah-daerah yang akan terdampak adalah dapil dengan jumlah bakal calon anggota legislatif (bacaleg) sebanyak, 4, 7, dan 8 berdasarkan perhitungan dengan kursi DPR RI, yang mana partai politik minimal mengajukan bacaleg untuk 3 kursi dan maksimal 10 kursi per dapil.

Pada simulasi dapil Bengkulu, terdapat 4 bacaleg yang dapat diajukan oleh partai politik. Terhitung 30 persen keterwakilan perempuan dari 4 bacaleg adalah 1,20 orang.

Jumlah tersebut, apabila berdasarkan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023, akan dibulatkan ke bawah. Dengan demikian, jumlah minimal bacaleg perempuan yang diajukan oleh partai politik di dapil tersebut adalah 1 orang.

Akan tetapi, 1 perempuan dari 4 bacaleg yang diajukan oleh partai politik menunjukkan bahwa perwakilan perempuan hanyalah 25 persen. Dengan demikian, persentase paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pun tidak tercapai di dapil Bengkulu.

Perhitungan serupa juga terjadi di dapil dengan maksimal 7 bacaleg (hanya 29 persen keterwakilan perempuan) dan 8 bacaleg (hanya 25 persen keterwakilan perempuan).

Skenario yang lebih buruk, yakni partai politik mendaftarkan calon anggota legislatif dengan jumlah yang lebih rendah. Hal ini akan mengakibatkan semakin sedikitnya partisipasi perempuan dalam pemilihan anggota legislatif.

Bagi Ninis, munculnya frasa ‘pembulatan ke bawah’ pada Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 merupakan kemunduran cara pandang dari sisi kelembagaan KPU. Pada berbagai pemilu sebelumnya, para penyelenggara pemilu di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, maupun kota sudah mendorong terpenuhinya keterwakilan perempuan.

Padahal, ketika aturan telah mengakomodasi kepentingan keterwakilan perempuan, jumlah ‘paling sedikit 30 persen’ pun masih sulit untuk terpenuhi. Situasi ini dapat menjadi lebih buruk bila para penyelenggara pemilu tidak segera menindaklanjuti langkah mundur ini, yang melonggarkan ketentuan bagi partai politik yang kesulitan memenuhi kuota minimal tersebut.

Oleh karena itu, Ninis merasa kecewa dengan kehadiran Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023. Ia meyakini partai politik bisa memenuhi kuota minimal keterwakilan perempuan meskipun terdapat keluhan bahwa hal tersebut sulit untuk dilakukan.

“Partai politiknya mampu. (Pada) pemilu-pemilu sebelumnya, partai politik itu mampu mencalonkan perempuan (sebesar) 30 persen,” ujar Ninis.


Desakan revisi

Menolak untuk diam, pegiat pemilihan umum  Wahidah Suaib mendorong KPU untuk tetap pada koridor undang-undang dalam penyusunan PKPU. Bahkan, ketika KPU berkonsultasi dengan DPR dan menghasilkan simpulan yang bertentangan dengan undang-undang, KPU harus tetap tegak lurus dengan undang-undang.

Selain itu, mantan komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) itu juga menyoroti kewenangan Bawaslu untuk melakukan uji materi terhadap PKPU yang bertentangan dengan undang-undang.

Oleh karena itu, ia mengajukan tiga langkah yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan setelah terbitnya PKPU 10/2023 ini.

Pertama, uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Kedua, memproses dugaan pelanggaran pemilu oleh KPU. Ketiga, secara persuasif meminta KPU mengoreksi peraturan itu.

Menanggapi tuntutan tersebut, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar forum tripartit atau tiga pihak bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk membahas sejumlah hal terkait dengan polemik keterwakilan perempuan di parlemen. Forum tersebut digelar di Kantor DKPP, Jakarta, Selasa (9/5).

Hal serupa telah disuarakan oleh Komisioner Bawaslu RI Lolly Suhenty. Lolly mengatakan bahwa Bawaslu memilih menggelar forum tripartit karena bisa lebih cepat mendorong KPU merevisi Pasal 8. Pasal tersebut harus segera diubah agar tahapan pendaftaran caleg tidak terganggu, apalagi tahapan tersebut akan berakhir pada 14 Mei 2023.

Ketentuan keterwakilan perempuan dengan jumlah paling sedikit 30 persen merupakan hasil dari perjuangan selama bertahun-tahun.

Langkah para penyelenggara pemilu pun, dengan keinginan untuk menggelar forum tripartit, telah menunjukkan upaya untuk mencegah perjuangan yang telah ditempuh selama bertahun-tahun dikerdilkan oleh sejumlah angka desimal di belakang koma.

Keresahan berbagai pihak yang diakibatkan oleh Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 merupakan dampak dari diterapkannya perhitungan dengan standar matematika yang kurang memperhatikan kebutuhan publik.

Dengan demikian, penting untuk memperhatikan aspek sosial dalam merumuskan suatu kebijakan.



Editor: Achmad Zaenal M

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023