• Beranda
  • Berita
  • Menyibak tabir gawai gedang suku Talang Mamak (bagian 1)

Menyibak tabir gawai gedang suku Talang Mamak (bagian 1)

18 Januari 2013 04:15 WIB
Menyibak tabir gawai gedang suku Talang Mamak (bagian 1)
Sejumlah anak suku Talang Mamakbermain di sekitar rumah adat di kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, Riau. Masyarakat adat Talang Mamak merupakan suku asli Indragiri Hulu dengan sebutan Suku Tuha yang berarti suku pertama. (ANTARA/Fachrozi Amri)
Pekanbaru (ANTARA News) - "Lebih baik mati anak, daripada mati adat". Pepatah kuno Suku Talang Mamak itu menggambarkan kondisi masyarakat adat untuk mempertahankan tradisi leluhur agar tak lekang melawan perubahan zaman.

Ritual pesta pernikahan adat "Gawai Gedang" kini pun berubah menjadi bagian dari bentuk perjuangan masyarakat adat di Provinsi Riau itu untuk mendapat pengakuan dari pemerintah.

Bau kemenyan menyeruak ke udara pada medio Januari, saat tangan-tangan kuat para lelaki Talang Mamak mencoba menegakkan "tiang gelanggang" di Desa Talang Perigi, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Desa terpencil yang berjarak sekitar 200 kilometer dari Kota Pekanbaru itu seakan menjadi saksi bisu perhelatan adat yang sudah 10 tahun terlupakan.

Jalan kampung yang biasa sepi dan berdebu, kini "dipersolek" dengan tegakan janur kuning dan umbul-umbul. Semuanya mengarah ke sebuah rumah kayu berkelir hijau dan biru dengan pelatarannya yang lapang. Di halaman rumah sudah berdiri enam pondok sederhana, yang paling mencolok bernama "Kajang Sirung".

Bangunan dari kayu dan bambu itu dibuat menyerupai perahu beratap kain putih dan dihiasi janur kuning. Itulah tempat penyambutan tokoh-tokoh adat Talang Mamak dari berbagai penjuru Indragiri Hulu.

Naiknya tiang gelanggang menjadi pertanda dimulainya Gawai Gedang. Tonggak kayu setinggi lima meter itu terbuat dari kayu "pungai" dan bambu, berbalut kain putih dan hiasan uang logam yang digantung dipuncaknya. Saat matahari mulai tampak tinggi dari ufuk Timur, empat kain (layar) berkibar di tengah tiang gelanggang, menandai persatuan warga dan penghormatan untuk tokoh adat.

Layar bercorak batik mewakili masyarakat, layar putih menandai batin, warna hitam untuk patih, dan layar merah untuk dubalang

Nyaris punah
Suku Talang Mamak masuk dalam kategori Melayu Tua (Proto Melayu), yang hidup menyebar di pedalaman Indragiri Hulu di Provinsi Riau hingga ke Provinsi Jambi. Mereka memiliki tradisi Gawai Gedang yang diartikan sebagai perhelatan nikah adat yang besar.

Ketua Panitia Gawai Gedang, Gilung menjelaskan ritual itu merupakan pesta nikah untuk dua mempelai yang berasal dari Desa Talang Perigi dan Ampang Delapan. Namun, gawai kali ini berbeda dengan pesta pernikahan adat biasa karena turut melibatkan pemangku adat tertinggi Talang Mamak (Patih), serta 20 dari 29 tokoh adat setingkat kepala desa (batin). Masing-masing batin mengajak puluhan warga untuk meramaikan pesta.

"Jumlah panitianya saja ada 100 orang, yang isinya dari tiap-tiap batin," kata pria berusia 33 tahun itu.

Ritual pesta nikah dibarengi dengan pesta sunatan massal yang diikuti oleh enam anak laki-laki. Setiap ada tokoh adat tiba di lokasi pesta, kedua mempelai bersama pengantin sunat menyambutnya dengan berkeliling tiang gelanggang sebanyak tiga putaran. Uniknya, para pengantin itu berkeliling dengan cara digendong dipundak pengiring nikah.

Gawai Gedang berlangsung selama tiga hari mulai tanggal 14 hingga 16 Januari. Rentetan ritual adat sering berlangsung hingga dini hari seperti pembacaan petuah kehidupan (Gantung Pauh-pauh), ritual pengobatan dukun (Kemantan) dan Tari Piring.

Ritual Gawai Gedang juga tak lepas dari tradisi sabung ayam, yang kerap diwarnai perjudian. Pihak keluarga pengantin nikah juga menyiapkan ayam aduan sendiri yang diadu pada permulaan Gawai Gedang dan sebelum penutupan pada hari terakhir. Suku Talang Mamak percaya adu ayam itu dapat mencegah roh jahat masuk ke rumah tempat ritual adat digelar.

Karena itu, Gilung mengatakan biaya yang dibutuhkan untuk Gawai Gedang sangat "membengkak" untuk ukuran pesta nikah di kampung. Pengeluaran paling banyak keluar dari pos konsumsi karena kepanitian sudah mulai berkumpul di lokasi pesta sejak dua minggu sebelum acara.

"Kalau dikalkulasikan semuanya, biaya Gawai Gedang lebih dari Rp200 juta," kata Gilung.

Tingginya kebutuhan biaya itu diakui Gilung menjadi salah satu penyebab warga Talang Mamak kesulitan menggelar Gawai Gedang. Terakhir kali ritual itu digelar di Desa Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim tahun 2003. Akibatnya, banyak generasi muda Talang Mamak tidak mengenal tradisi itu.

Namun, ia mengatakan para tokoh adat Talang Mamak sudah sepakat untuk "menghidupkan" kembali Gawai Gedang yang nyaris dilupakan. Ritual nikah akbar itu dipercaya ikut mempererat tali persaudaraan karena ikut melestarikan budaya gotong-royong Suku Talang Mamak.

Karena itu, Gewai Gedang kali ini ikut ditanggung bersama oleh 20 batin yang ikut serta. Mereka turut membiayai acara dengan mengumpulkan sumbangan dari warga Talang Mamak di daerahnya.

"Setiap batin ikut membantu ada yang dengan sumbangan uang, ada yang bawa beras dan ada juga menyumbang lewat tenaga," katanya.

Seorang warga Talang Mamak, Bahasan, mengatakan penyebab lain Gawai Gedang mulai ditinggalkan karena pengaruh budaya luar, terutama dengan kehadiran agama Islam. Ketika banyak warga Talang Mamak memeluk Islam, secara adat hal itu berarti meninggalkan kepercayaan "Langkah Lama" yang dianut leluhur.

Kepercayaan tersebut mirip seperti "Kejawen" di Jawa, karena Talang Mamak mempercayai Islam tapi tidak melaksanakan ibadah selayaknya muslim.

Bahasan mengatakan, mereka yang menganut agama diluar kepercayaan "Langkah Lama" masih diakui sebagai Talang Mamak, namun kerap disebut sebagai "Anak Talang". Mereka tidak diperkenankan menjadi tokoh adat maupun menggelar ritual adat.

Bahkan, hal itu juga dialami oleh Gading seorang bekas Patih Talang Mamak, yang akhirnya dilengserkan karena memilih menjadi muslim.

"Saya sendiri sudah lama memeluk Islam, karena itu tidak menikah dengan cara adat lagi. Tapi untuk Gawai Gedang ini banyak Anak Talang ikut membantu karena merasa masih menjadi bagian dari Talang Mamak dan melestarikan tradisi adalah kewajiban," kata lelaki tua berumur 60 tahun itu.

Selain itu, mempertahankan tradisi menikah secara adat juga kerap menyulitkan warga Talang Mamak karena prosesi itu tidak mengikuti hukum nikah yang diakui pemerintah Indonesia. Mereka tidak melakukan akad nikah dengan menghadirkan penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA), apalagi mengurusnya ke Kantor Catatan Sipil.

"Sahnya nikah dan cerai dalam adat Talang Mamak ditandai dengan makan daun sirih," kata Batin Talang Jerinjing, Jamin.

Daun sirih inilah layaknya surat nikah dan cerai bagi Talang Mamak karena mereka tidak punya tradisi menulis. Karena itu, pengantin Talang Mamak yang nikah secara adat tidak memiliki surat nikah resmi, dan anak-anak mereka lebih sulit masuk sekolah karena tidak punya akta kelahiran. (Bersambung)

(F012/Z003)

Oleh FB Anggoro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013