Pekanbaru (ANTARA News) - Patih Majuan di usianya yang masih muda kini memikul beban sangat berat untuk memperjuangkan nasib Suku Talang Mamak.Sebenarnya kami bukan ingin melawan pemerintah, tapi kami minta Talang Mamak jangan dibedakan dan jangan dipersulit hidupnya."
Pria kelahiran tahun 1987 itu diangkat menjadi Patih pada dua tahun lalu untuk menggantikan Gading yang tidak diakui lagi secara adat.
Bagi Majuan, ritual Gawai Gedang tidak hanya sebuah pesta besar, melainkan untuk menyatukan seluruh pemangku adat Talang Mamak yang sebelumnya bercerai-berai.
"Beban saya memang sangat berat, tapi kalau kita kompak tidak jalan sendiri-sendiri pasti ada jalan keluar nanti," katanya.
Lelaki berperawakan kecil yang murah senyum itu mengatakan ada kisah di balik pelaksanaan Gawai Gedang. Hal itu bermula pada bulan Maret tahun lalu, ketika Majuan hadir dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Halmahera, Provinsi Maluku Utara.
"Saya sedih kenapa kondisi masyarakat adat disana bisa lebih sejahtera, dan hutan mereka masih terjaga. Sedangkan, Talang Mamak bernasib sebaliknya," ujar Majuan.
Dalam kenyataannya, ia mengatakan kondisi Talang Mamak kini makin terpinggirkan seperti tidak tersentuh pembangunan. Hutan mereka yang dulu menjadi sumber kehidupan, kini sudah gundul dan beralih jadi konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Kehadiran investasi kapitalis ternyata hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, dan mencerai-berai warga Talang Mamak.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah, dalam pandangan Majuan, ternyata kurang menghargai Suku Talang Mamak yang sangat bergantung pada hasil hutan. Kehadiran perangkat pemerintahan tidak mengakui pemangku adat dalam mengambil kebijakan. Akibatnya, hutan adat (Rimba Puaka) yang secara tradisi sangat dijaga dan haram untuk ditebang pun musnah.
"Dulu kami punya Rimba Puaka luasnya sekitar 2.300 hektare di Desa Durian Cacar, sekarang sudah habis ditebang dan dikuasai perusahaan. Mungkin sekarang tinggal lima hektare saja hutan keramat yang tersisa," katanya.
Majuan kini pun baru sadar, andaikan dahulu seluruh pemangku adat Talang Mamak bersatu, mereka pasti bisa mempertahankan Rimba Puaka dan tanah adat (ulayat). Andaikan Rimba Puaka masih ada, lanjutnya, tentu biaya Gawai Gedang tidak bakal mahal karena bahan makanan sudah disediakan di hutan tanpa perlu membelinya.
Menurut dia, memperjuangkan nasib Talang Mamak bukan hanya ada di tangan Patih karena hal itu hanya berbuah keputusasaan seperti yang terjadi pada Laman, Patih Talang Mamak sebelumnya.
Nama Patih Laman sempat terkenal karena mendapat penghargaan Kalpataru tahun 2009 karena mempertahankan Rimba Puaka. Dia pun mendapat penghargaan dari WWF di Kinabalu, Malaysia karena perjuangannya itu.
Namun, ternyata Laman hanya berjuang sendirian karena tidak didukung oleh seluruh pemangku adat. Bahkan, pemangku adat juga ada yang menggadai tanah ulayat yang seharusnya dilarang untuk dijual. Penghargaannya itu akhirnya sia-sia karena Laman tak mampu mencegah Rimba Puaka "dijarah", hingga ia akhirnya memutuskan untuk mengembalikan Kalpataru ke pemerintah pada tahun 2010.
"Saya sungguh takjub dengan perjuangan Pak Laman memperjuangkan hutan adat. Tapi kesalahan dia adalah karena berjuang sendirian. Kasihan Pak Laman sekarang hanya bisa dirumah karena patah semangatnya," ujar Majuan.
Majuan ingin belajar dari kesalahan para pendahulunya, karena itu ia mencari cara untuk menyatukan pemangku adat. Dengan bantuan organisasi AMAN, ia mencoba mengumpulkan para batin dan Gawai Gadang merupakan media untuk memulainya.
"Awalnya tidak mudah, dari hanya enam batin yang setuju dan sekarang terkumpul semua di Gawai Gedang," ujarnya.
Resolusi Adat
Sebanyak 20 batin akhirnya menggelar musyawarah adat sehari sebelum pelaksanaan Gawai Gedang di Balai Adat Desa Talang Perigi.
Dalam pertemuan itu para pemangku adat berikrar untuk memperkokoh kebersamaan, memetakan lagi wilayah adat Talang Mamak, melakukan penggalian dan pelurusan sejarah adat secara benar, dan menghidupkan kembali lembaga adat serta tradisi dan hukum adat.
"Yang terpenting dalam maklumat musyawarah adalah seluruhnya sepakat untuk menghentikan tindakan-tindakan menjual tanah adat," katanya.
Dalam musyawarah itu juga terlahir resolusi adat, yang berisi 15 poin tuntutan terhadap pemerintah untuk mengakui keberadaan Talang Mamak.
"Selama ini Talang Mamak hanya dijadikan korban politik saat pemilu, karena para politisi hanya bisa memberikan janji. Mulai sekarang kami tidak mau lagi dibodohi, kalau ada mereka datang lagi harus disumpah dengan adat untuk memajukan Talang Mamak," tegasnya.
Dalam resolusi itu para pemangku adat mendesak DPR RI mendengarkan aspirasi masyarakat adat untuk mensegerakan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Mereka juga mendesak agar Pemerintah Kabupaten dan DPRD Indragiri Hulu untuk mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengakui hak-hak adat, tanah ulayat hingga kepercayaan Talang Mamak.
Untuk memperjuangkan Rimba Puaka yang sudah habis dikuasai perusahaan, mereka meminta agar Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Kehutanan untuk mengevaluasi sertifikat pemberian hak guna usaha serta perijinan kehutanan di atas wilayah adat Talang Mamak.
Kepada pemerintah daerah, mereka juga mendesak agar disediakan fasilitas pendidikan, perbaikan jalan, dan penyesuaian kurikulum pendidikan agar sesuai dengan pembangunan karakter masyarakat adat Talang Mamak. Majuan mengatakan, masih banyak warga Talang Mamak kesulitan untuk sekolah termasuk dirinya yang harus belajar sendiri untuk bisa baca tulis.
"Pendidikan sangat penting karena saya mengimpikan ada sekolah SD sampai SMA di dekat permukiman Talang Mamak, dan anak-anak kami nantinya ada yang bisa jadi guru dan dokter untuk membangun daerahnya," kata Majuan yang mengaku tak pernah mengenyam pendidikan formal.
Resolusi adat itu juga menyuarakan agar pemerintah daerah membuat kebijakan agar mempermudah pencatatan kewarganegaraan bagi masyarakat adat untuk pengurusan KTP, akta kelahiran, dan akta nikah.
Selain itu, pemangku adat Talang Mamak juga mendesak perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah adat untuk membuka diri dan berdialog, agar bisa menciptakan kesepakatan mengenai ganti rugi dari hutan adat yang telah dirampas.
"Sebenarnya kami bukan ingin melawan pemerintah, tapi kami minta Talang Mamak jangan dibedakan dan jangan dipersulit hidupnya," ujar Majuan.
Di luar resolusi itu, Majuan menyadari bahwa perubahan nasib Talang Mamak harus diperjuangkan oleh mereka sendiri. Ia pun sadar bahwa Talang Mamak juga lengah untuk mengubah cara pandang mereka dalam pertanian, yang mengakibatkan mereka "latah" menanam sawit dan menebang pohon karet peninggalan orang tua.
Padahal, mereka tidak paham bagaimana cara menanam sawit karena pola bertani Talang Mamak masih sangat sederhana. Mereka hanya membiarkan tanaman tumbuh tanpa perawatan, padahal teknologi pertanian sudah berkembang pesat.
Karena itu, Majuan menggerakan warganya untuk membuka lahan seluas dua hektare agar mereka bisa menanam palawija. Modalnya berasal dari iuran swadaya sebesar Rp20 ribu per bulan yang selama setahun terakhir sudah terkumpul sekitar Rp7 juta.
"Sejauh ini baru 13 orang yang mau ikut. Tapi kalau nanti berhasil, pasti banyak yang akan ikut. Karena itu saya meminta Pemerintah Indragiri Hulu mau memberi bantuan bibit dan penyuluh pertanian, biar kami lebih pandai bertani," katanya.
Patih Majuan memang masih sangat muda, namun di dalam tubuh kecilnya tersimpan cita-cita dan tekad yang sangat besar untuk memperbaiki nasib kaumnya. Semoga saja suatu hari nanti Suku Talang Mamak bisa hidup sejahtera di tanah kelahirannya sendiri, tanpa kehilangan identitas mereka sebagai masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal menjaga hutan adatnya.
"Setiap perjuangan pasti ada rintangan dan cobaan. Sekuat apa cobaan itu, kami akan terus berusaha melaluinya," pungkas Patih Majuan.
(F012/Z003)
Oleh FB Anggoro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013