• Beranda
  • Berita
  • Perlindungan mangrove di Indonesia terganjal birokrasi

Perlindungan mangrove di Indonesia terganjal birokrasi

29 Januari 2013 15:34 WIB
Perlindungan mangrove di Indonesia terganjal birokrasi
Tanaman Bakau (Ilustrasi)

...antara lain Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup

Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, tumpang tindih dalam hal kewenangan menghambat upaya perlindungan mangrove atau hutan bakau yang merupakan bagian penting dalam ekosistem di daerah pesisir Indonesia.

"Selama ini terjadi tumpang tindih pengelolaan hutan mangrove antar-instansi pemerintah, antara lain Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup," kata Sekjen Kiara Abdul Halim, dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa.

Menurut Abdul Halim, tumpang tindih tersebut yaitu mangrove atau hutan bakau yang dinilai termasuk bagian dari perspektif kehutanan maka diklaim merupakan kewenangan dari Kementerian Kehutanan.

Begitu pula sebaliknya, ujar dia, dimana Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki tugas pokok dan fungsi menyangkut sumber daya pesisir yang tidak hanya berkaitan dengan kelautan dan perikanan tetapi juga menyangkut dengan sumber daya pesisir dalam kaitannya, yaitu mangrove atau hutan bakau.

"Ditambah lagi dengan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup karena kerusakan mangrove menjadi salah satu kriteria baku kerusakan ekosistem dan merupakan instrumen pencegahan pencemaran dan indikator," katanya.

Ia menegaskan, mangrove atau hutan bakau merupakan sumber daya yang penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir yang berfungsi sebagai ruang berkembang biaknya sumber daya ikan, sabuk hijau ketika terjadi bencana, pencegah laju abrasi pantai hingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar kayu.

Namun, lanjutnya, perlindungan hutan bakau tidak terlalu kuat karena tidak terdapat peraturan yang khusus mengatur mengenai perlindungan mangrove.

Beberapa undang-undang yang mengatur mengenai hutan mangrove antara lain UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataaan Ruang, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Abdul Halim berpendapat, perlindungan yang kuat terdapat dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah menempatkan hutan bakau sebagai Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 1 angka 4) dan terdapat ancaman pidana terhadap penebangan dan perusakan hutan mangrove di pesisir.

Pelaku perusakan terhadap mangrove tersebut diancam dengan Pidana Pasal 73 ayat (1) huruf b dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

Karena itu, Kiara merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah, yaitu menegaskan kewenangan pengelolaan hutan mangrove sebagai kewenangan dari KKP dalam hal sumber daya pesisir, menghentikan alih fungsi atau konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit atau pertambakan budidaya, dan menindak pelaku konversi hutan bakau yang merusak ekosistem pesisir.
(M040)


Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013