Peneliti Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN Indra Saptiama mengatakan banyak warga Indonesia berobat kanker ke luar negeri, seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan China.
"Banyak pasien di Indonesia yang berobat kanker ke luar negeri. Padahal itu juga menggunakan kedokteran nuklir," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat.
Indra menuturkan kedokteran nuklir saat ini memiliki kapitalisasi yang cukup besar dalam bidang pengobatan.
Baca juga: Kemenkes perkuat layanan pasien kanker dengan radioterapi
Baca juga: Instalasi kedokteran nuklir RSUD AWS sudah diagnosis 2.059 pasien
Radioisotop medis atau radiofarmaka di Indonesia banyak dibutuhkan oleh rumah sakit yang memiliki kedokteran nuklir, terutama rumah sakit kelas A.
Namun, produk yang digunakan 94 persen diperoleh dari luar negeri alias impor dan hanya sekitar 6 persen saja yang diproduksi di dalam negeri.
BRIN berkolaborasi dengan perusahaan pelat merah PT Kimia Farma terkait riset dan pengembangan radioisotop medis di Indonesia.
"Rumah sakit yang bisa menggunakan radioisotop medis harus memperoleh izin dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan memiliki dokter spesialis kedokteran nuklir yang sudah memahami terkait penggunaan alat tersebut," kata Indra.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa BRIN bersama pelaku industri telah menghasilkan produk kedokteran nuklir untuk kesehatan masyarakat.
Produk itu antara lain Metil Diphosphonate (MDP) untuk mengetahui kanker di tulang dan 153Sm-EDTMP untuk terapi paliatif kanker metastasis ke tulang.
"Biasanya pasien yang mengidap kanker di stadium akhir, kanker akan menyebar atau bermetastasis ke tulang, sehingga menyebabkan rasa sakit yang cukup kuat. Biasanya menggunakan obat seperti morfin dan sebagainya dengan kadar tertentu yang sudah diizinkan dokter," kata Indra.
Produk 153Sm-EDTMP juga bisa sebagai alternatif morfin. Kalau morfin bisa beberapa kali, tapi kalau 153Sm-EDTMP frekuensi pemakaiannya lebih lama, tiga atau enam bulan sekali, tergantung pasien," ujarnya.
Sedangkan, produk radiofarmaka lainnya adalah 131I-MIBG Endoneuroscan untuk diagnosis kanker neuroblastoma, Metoxy Isobutil Isonitril (MIBI) untuk mengecek atau diagnosis perfusi jantung, Dietilen Triamin Penta Asetat (DTPA) untuk diagnosis perfusi ginjal, dan Etambutol untuk mengecek atau diagnosis tuberkulosis.
Komposisi radioisotop lebih besar digunakan di rumah sakit dibandingkan radiofarmaka. Saat ini radioisotop Iodium-131 dan Tc-99m yang selama ini dipasok dari luar negeri sedang dikembangkan BRIN supaya dapat ditekan harganya dan akses mendapatkan produk tersebut menjadi lebih mudah.
"Iodium-131 Oral nantinya akan digunakan oleh kedokteran nuklir untuk diagnosis dan terapi kanker tiroid serta gangguan kerja tiroid lainnya. Saat ini produk itu akan diuji klinis dan nantinya akan didaftarkan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memperoleh nomor izin edar," kata Indra.*
Baca juga: Peneliti BRIN kembangkan 'radio-fluorescent' untuk deteksi sel kanker
Baca juga: RSKD Dadi Sulsel miliki fasilitas kedokteran nuklir pertama di KTI
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023