KPI : belum jelas nasib tujuh pelaut Indonesia

2 Februari 2013 20:40 WIB

Kondisi keempat pelaut Indonesia itu kini berangsur pulih setelah mengalami hiportemia akibat cuaca ekstrim saat kapalnya tenggelam dihantam ombak besar di tengah suhu minus 6-8 derajat,"

Jakarta (ANTARA News) - Tujuh pelaut perikanan Indonesia yang hilang di perairan utara Jepang, belum diketahui nasibnya, tetapi empat yang selamat dan kini masih dirawat di sebuah rumah sakit di Pulau Shakalin, Rusia, dengan kondisi berangsur membaik.

"Kondisi keempat pelaut Indonesia itu kini berangsur pulih setelah mengalami hiportemia akibat cuaca ekstrim saat kapalnya tenggelam dihantam ombak besar di tengah suhu minus 6-8 derajat," kata Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Mengutip laporan dari organisasi pelaut Rusia, Hanafi mengatakan kecil kemungkinan ketujuh pelaut Indonesia yang hilang itu bisa ditemukan selamat mengingat cuaca di perairan utara Jepang sangat ekstrim dengan suhu minus yang sangat dingin.

Sebelas pelaut Indonesia yang menjadi awak kapal perikanan Rusia Shans-101 tenggelam di laut dekat pulau Svetlaya, Rusia Timur, karena dihantam dua gelombang besar.

Kapal ikan berbendera Rusia milik perusahaan perikanan Vostok-I Fishing Company itu diawaki 30 orang, terdiri dari 19 orang warga negara Rusia dan 11 orang pelaut Indonesia.

Menurut Hanafi, ke-4 pelaut Indonesia yang selamat adalah Ferry Seftianto, Abdul Muhamad Muksin, Karyana dan Nurhasim, sedangkan tujuh yang belum ditemukan adalah Hendra Scorpianto, Agustinus Sitaniapessy, Medi Setiawan, Daskunah, Zaenal Arifin, Adi Pamuji, dan Puji Sulistiawan.

Hingga kini KPI belum mengetahui perusahaan penyalur yang mengirim dan menempatkan pelaut Indonesia di kapal perikanan Rusia itu. Dari hasil investigasi organisasi pelaut Rusia diperoleh keterangan bahwa ke-11 pelaut Indonesia itu bergabung ke kapal ikan Rusia melalui pelabuhan Pusan, Korea Selatan.

Dari pelabuhan ini, pelaut Indonesia kemudian diangkut dengan sebuah kapal ikan lain ke tengah laut untuk ditempatkan di kapal Shans-101.

KPI belum mengetahui bagaimana dan oleh siapa para pelaut ini direkrut dan ditempatkan ke kapal, termasuk bentuk perlindungannya, yaitu apakah mereka mempunyai PKL (Perjanjian Kerja Laut) atau tidak.

"Apabila ternyata perekrutan dan penempatan mereka dikapal tanpa melalui prosedur resmi maka praktik itu dapat dikategorikan sebagai perdagangan manusia," katanya.


Tindakan tegas


Dalam kasus ini, KPI mendesak pemerintah untuk menelusuri proses penempatan pelaut tersebut, dan dari mana mereka bisa memperoleh Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTLN). Bisa juga ditelusuri melalui imigrasi, karena instansi itu merupakan pintu terakhir di bandara sebelum seorang WNI ke luar negeri.

Khusus untuk KTKLN, Hanafi meminta Kepala BNP2TKI untuk menyelidiki dimana dan bagaimana perusahaan penyalur dapat memperolehnya untuk para pelaut tersebut.

Sesuai dengan peraturan Ka. BNP2TKI no : Per.13/KA/VIII/2009 tanggal 25 Agustus 2009 dan surat edaran Kepala BNP2TKI no.SE.02/KA/V/2012 tanggal 30 Mei 2012, salah satu persyaratan KTKLN adalah memiliki PKL yang disahkan oleh Dirjen Perhubungan Laut.
(E007/R010)


Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013